MATERI
PERTEMUAN KE VI
Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah
ASURANSI
SYARIAH
A. Pengertian
Asuransi syariah adalah asuransi yang
berdasarkan dengan prinsip-prinsip syariah dengan usaha tolong-menolong
(ta’wuni) dan saling melindungi (takafuli) diantara para peserta melalui
pembentukan kumpulan dana (dana tabarru’) yang dikelola sesuai prinsip syariah
untuk menghadapi resiko tertentu. Berikut beberapa definisi dalam asuransi
syariah sebagai berikut:
1. Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat kesepakatan
tertentu, beserta hak dan kewajiban para pihak sesuai prinsip syariah.
2. Akad Tabarru’ adalah akad hibah dalam bentuk pemberian dana
dari satu peserta kepada dana tabarru’ untuk tujuan tolong-menolong diantara
para peserta. Yang tidak bersifat dan bukan untuk tujuan komersial.
3. Akad Wakalah bil Ujrah adalah akad tijarah yang memberikan
kuasa kepada perusahan sebagai wakil peserta
untuk mengelola dana Tabarru’ dan/ atau dana investasi peserta. Sesuai
kuasa atau wewenang yang diberikan dengan imbalan berupa ujrah (fee).
4. Akad Mudharabah adalah akad untuk memberikan bagi hasil atas
investasi dana tabarru’
5. Kontribusi adalah sebuah dana yang dibayarkan oleh peserta
kepada persahaan yang sebagian akan dialokasikan sebagai iuan tabarr’ dan
sebagian lainnya sebagai fee(ujrah) untuk perusahaan.
6. Iuaran dana Tabarru’ adalah sebagian dari kontribusi yang
dibayarkan oleh peserta yang kemudian dimasukan kedalam kumpulan dana tabarru’
dengan akad tabarru’
7. Dana Tabarru’ adalah kumpulan dana yang berasal dari
kuntribusi yang peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan akad
tabarru’ yang disepakati.
8. Surplus/Defisit Underwriting adalah selisih lebih/kurang
dari total kontribusi peserta kedalam dana tabarru’ setelah dikurangi
pembayaran santunan/klaim, kontribusi reasuransi, dan cadangan teknis, dalam
satu periode tertentu.
B. Pinsip-Prinsip
1. Asuransi Syariah Menjalankan Prinsip Tauhid
Prinsip
tauhid menjadi prinsip dasar dalam asuransi syariah. Hal inilah yang menjadi
salah satu poin utama yang wajib dioahami dengan baik. Dalam prinsip ini, niat
dasar memiliki asuransi bukanlah untuk meraih keuntungan semata, melainkan untuk
ikut serta dalam menerapkan prinsip syariah dalam asuransi.
2. Asuransi Syariah Mengamalkan Prinsip Keadilan
Dalam
asuransi syariah juga terdapat prinsip keadilan dimana nasabah dan pihak
perusahaan asuransi bersikap adil satu sama lain. Artinya, kedua belah pihak
ini harus berkeadilan terkait dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Dengan
begitu, tidak ada pihak yang merasa terzalimi atau dirugikan atas penggunaan
prodeuk asuransi tersebut.
3. Asuransi Syariah Memuat Prinsip Tolong-menolong
Prinsip
tolong-menolong menjadi salah satu poin penting dalam konsep asuransi syariah.
Sesame nasabah memang diwajibkan untuk saling berderma dan saling membantu
antara satu dengan yang lainnya. Hal yang seperti inilah yang dilakukan ketika
salah satu nasabah terkena musibah dan mengalami kerugian sehingga pihak
perusahaan asuransi hanya akan bertindak sebagai pengelola dana saja didalam
konsep asuransi syariah.
4. Ada Prinsip Kerja sama dalam Asuransi Syariah
Asuransi
Syariah juga menjalankan prinsip kerja sama antara asabah dan perusahaan
asuransi selaku pengelola dananya. Kerja sama ini dilakukan sesuai dengan
perjanjian/ akad yang telah disepakati sejak awal oleh kedua belah pihak.
Dengan demikian, keduanya dapat menjalankan hak dan kewajibannya dengan
seimbang.
5. Asuransi Syariah Dilandasi Prinsip Amanah
Perusahaan
asuransi juga dilandasi prinsip amanah dalam mengelola dana nasabah dan hal
yang sama juga berlaku bagi para nasabah asuransi syariah. Dalam hal ini,
nasabah harus bersikap jujur dan tidak mengada-ngada ketika mengajukan klim.
Disisi lain, pihak perusahaan asuransi juga tidak boleh semena-mena dalam
mencari keuntngan, termasuk dalam mengambil sebuah keputusan.
6. Asuransi Syariah Memiliki Prinsip Saling Rada
Prinsip
saling rida ini menjadi dasar dalam setiap transaksi yang terjadi didalam
asuransi syariah sehingga semuanya dapat berjalan dengan baik dan sesuai
ketentuan. Artinya, nasabah rida ketika dananya dikelola perusahaan asuransi
sebagaimana mestinya yang sesuai dengan konsep syariah. Sementara perusahaan
asuransi juga harus rida dengan amanah yang diterimanya dari nasabah. Dan
mereka harus mengelola dana nasabah tersebut sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
7. Asuransi Syariah Bekerja dengan Prinsip Menghinndari Riba
Konsep
syariah tidak membenarkan adanya riba, termasuk dalam asuransi syariah.
Artinya, semua dana/premi yang dibayarkan nasaba kepada perusahaan asuransi
wajib diinvestasikan dalam berbagai bisnis tertentu yang sesuai dengan prnsip
syariah.
8. Asuransi Syariah Berjalan dengan Prinsip Menghindari
Bertaruh
Jika
dalam asuransi konvensional pengunaan prinsip maisir ( mirip gambling )
adalah hal yang lumrah, hal ini tidak berlaku dalam asyransi syariah. Asuransi
syariah menghindari pengunaan konsep tersebut akan menerapkan sistem risk
sharing didalam layanan mereka.
9. Asuransi Syariah Berdasar pada Prinsip Menghindari
Ketidakjelasan
Asuransi
syariah tidak memperbolehkan adanya gharar ( ketidakjelasan) dalam layanan
mereka. Sebab asuransi ini mengunakan konsep risk sharing dan bukan risk transfer sebagaimana yang lasim digunakan
dalam asuransi konvensional.
10. Prinsip Menjauhi Praktik Suap-menyuap
Baik
perusahaa asuransi maupun nasabah pengunanya, keduanya harus selalu menjauhkan
diri dari praktik suap-menyuap dalam semuah trnsaksi yang dilakukan.
C. Perbedaan Asuransi Konvensional dengan Asuransi Syariah
a. Kontak atau perjanjian asuransi syariah menggunkan akad
Hibah(tabarru’) yang dilakukan sesuai syariat islam dan halal. Sedangkan
kontrak asuransi konvensional dilakukan seperti transaksi pada umumnya. Nasabah
menyepakati kontarak (premi, rentang waktu, dan lainnya) yang diajukan oleh
perusahaan asuransi.
b. Kepemilikan dana. Kepemilikan dana asuransi syariah adalah
dana bersama milik semua peserta asuransi. Jika ada peserta membutuhkan
bantuan , peserta lain termasuk anda
akan memantu melalui dana distribusi. Hal ini disebut dengan prinsip sharing of risk. Sedangkan asuransi
konvensional akan mengelola dan menentukan dana perlindungan nasabah, yang
berasal dari pembayaran premi perbulan.
c. Investasi berbentuk tabarru’ dilakukan sesuai syariat islam,
sehingga investasi akan mengambil instrument yang halal. Sebaliknya, asuransi
konvensional bebas memilih instrument investasi, tanpa melihat halal dan
non-halal.
d. Surplus underwriting. Ini adalah dana yang akan diberikan kepada peserta bila
terdapat kelebihan dari rekening tabarru’ termasuk juka ada pendapatan lain
setelah dikurangi pembayaran santunan/klaim dan hutang kepada perusahaan (jika
ada). Hal ini tidak berlaku pada asuransi konvensional, karena semua keuntungan
dimiliki oleh pihak asuransi.
e. Proses klaim. Asuransi syariah memungkinkan seluruh keluarga inti
menggunakan satu polis. Disamping itu, kontribusi tabarru’ lebih ringan
dibanding pembayaran premi, seluruh keluarga akan mendapatkan perlindungan
riwayat inap rumah sakit. Asuransi konvensional hanya memperbolehkan satu orang
memegang satu polis.
f.
Zakat adalah rukun islam
yang wajib dilakukan oleh umat islam. Sehingga asuransi syariah mewajibkan
peserta membayar zakat. Jumlahnya ditentukan berdasarkan keuntungan perusahaan.
Hal ini tidak berlaku pada asuransi konvensional.
D. Mekanisme Kerja Asuransi Syariah
1. Underwriting
Proses
penafsiran jangka hidup seorang calon peserta yang dikaitkan dengan besarnya
resiko untuk menentukan besarnya premi.
2. Polis Asuransi
Surat
perjanjian antara pihak yang menjadi peserta asuransi dengan perusahaan
asuransi.
3. Premi (kontribusi)
Premi
dalam asuransi syariah umumnya dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a. Premi tabungan
b. Premi tabarr’
c. Premi biaya
4. Pengelolaan dana asuransi (premi)
Pengelolaan
dana asuransi dapat dilakukan dengan akad mudharobah,
mudharobah masyarakat bil ujrah. Pada akad mudharobah, keuntungan
perusahaan asuransi syariah dari bagian keuntungan dana dari investasi (sistem
bagi hasil)
5. Jenis Investasi Usaha Asuransi Syariah
Investasi
merupakan penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik yang melali sarana yang
menghasilkan pendapatan maupun melalui kerja sama yang lebih berorientasi
resiko yang dirancang untuk mendapatkan perolehan modal
6. Klaim
Hak
peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan
kesepakatan dalam akad
7. Penutupan Asuransi
Berakhirnya
perjanjian asuransi
E. Pengembangan Asuransi Syariah
Asuransi syariah di Indonesia secara de facto diawali dengan
berdirinya PT. Syarikat Takaful Indonesia pada tanggal 24 februari 1994 atas
prakarsa tim pembentukan asuransi tafakul Indonesia (TEPATI) yang dimotori oleh
ikatan Candekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui yayasan Abdi Bangsa, Bank
Muamalat Indonesia Tbk., PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departeme keuangan RI,
serta beberapa pengusaha muskim Indonesia. TEPATI ini mengadakan study banding
kemalaysia pada tanggal 7-10 agustus 1993 sebagai langkah awal pendirian, untuk
melihat perkembangan dan sistem asuransi syariah di Malaysia yang dikelola oleh
perusahaan atau syarikat takaful Malaysia SDN, Bhd. Setelah melakukan study
banding TEPATI mendirikan PT. Syarikat Takaful Indonesia pada tanggal 24 februari
1994, dengan nomor ijin usaha dan operasional berdasarkan SK. Menteri Kehakiman
RI No. C2-6712.HT.01.01. Th. 1994 dan SIUP Departemen Perindustrian dan
perdagangan RI No. 533/09-01/VII/2000. Sebagai pelopor asuransi syariah di
Nusantara, PT. syarikat Takaful Indonesia telah melayani masyarakat dengan jasa
perlindungan asuransi yang sesuai dengan prinsip syariah dan menerapkan
prinsip-prinsip murni syariah pertama di Indonesia, selama lebih dari satu
dasawarsa, melalui dua perusahaan operasionalnya: PT Asuransi Takaful Keluarga
(Asuransi Jiwa Syariah) dan PT Asuransi Takaful Umum (Asuransi Umum Syariah),
sebagai anak perusahaan dari PT. Takaful Indonesia sebagai perusahaan induk
(Holding Company).
Keberadaan PT. Syarikat Takaful Indonesia secara de jure baru
diakui dengan didirikan PT Asuransi Takaful Keluarga yang bergerak di bidang
asuransi jiwa syariah (Islamic Life Insurance Company) pada 4 Agustus 1994,
dengan nomor ijin usaha dan operasional berdasarkan pada SK. Menteri Kehakiman
RI No. C2-9583.HT.01.01. Th. 1994 dan SK. Menteri Keuangan RI No.
385/KMK.017/1994 dan mulai beroperasi pada 25 Agustus 1994 ditandai dengan
peresmian oleh Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dan diikuti dengan pendirian
anak perusahaan yang bergerak di bidang asuransi umum syariah (Islamic General
Insurance Company) yaitu PT Asuransi Takaful Umum, dengan nomor ijin usaha dan
operasional berdasarkan pada SK. Menteri Kehakiman RI No. C2-18.286.HT.01.01.
Th. 1994 dan SK. Menteri Keuangan RI No. 247/KMK.017/1995 pada tanggal 31 Mei 1995,
yang diresmikan oleh Menristek/Ketua BPPT Prof. Dr. B.J. Habibie pada 1 Juni
1995.
Kepemilikan mayoritas saham Syarikat
Takaful Indonesia saat ini dikuasai oleh Syarikat Takaful Malaysia Berhad (56%)
dan Islamic Development Bank (IDB 26,39%), sedangkan selebihnya oleh Permodalan
Nasional Madani (PNM) dan Bank Muamalat Indonesia serta Karya Abdi Bangsa,
Koperasi Karyawan Takaful dan pemegang saham lainnya.
Adapun latar belakang lahirnya sistem
asuransi syariah dan penerapan prinsip syariah dalam kegiatan usaha asuransi di
Indonesia adalah :
a. Dengan sistem konvensional, sistem perekonomian akan rapuh
dan tidak akan menyelesaikan problem
b. Prinsip syariah sesuai dengan prinsip yang tertera dalam Al
Qur’an (pedoman bagi umat Islam dalam bermuamalah) dan prinsip syariah banyak
mengandung unsur-unsur keadilan dibandingkan dengan sistem konvensional adanya
permintaan pasar
c. adanya kebijakan pemerintah yang memberi kesempatan pada
perusahaan untuk membuka divisi syariah dan Fatwa MUI No. 21/DSN-MUI/2001
tentang Pedoman Asuransi Syariah
d. asuransi syariah di Indonesia sebelum kurun waktu tahun 2001
hanya dijalankan oleh PT. Takaful sebagai pemain tunggal bidang usaha asuransi
syariah.
Asuransi Takaful sampai dengan tahun
2001 awal merupakan pemain tunggal dalam asuransi syariah di Indonesia, namun
peluang terbuka untuk usaha asuransi syariah dengan adanya kebijakan pemerintah
melalui SK. Menkeu No. 268/KMK.06/2002 tanggal 7 November 2002, yang memberi
peluang bagi perusahaan asuransi konvensional untuk menjalankan usahanya
berbasis syariah melalui 3 (tiga) alternatif pendirian yaitu:
1. konversi langsung secara penuh dari asuransi konvensional
ke asuransi syariah dengan mengubah akad dan menghilangkan unsur maysir, gharar
dan riba; atau
2. membentuk langsung lembaga asuransi syariah; atau
3. membuka kantor cabang asuransi syariah/divisi asuransi
syariah.
Adapun kendala ataupun kesulitan yang
dihadapi perusahaan asuransi dalam mengembangkan asuransi syariah adalah :
a. Belum adanya payung hukum mengenai asuransi syariah.
Belum ada payung hukum yang secara khusus mengatur mengenai asuransi syariah di
Indonesia. Selama ini, asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada UU
No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Secara operasional asuransi
syariah masih mengacu pada regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah baik
berupa peraturan pemerintah melalui PP No. 73 Tahun 1992 jo PP No. 63 Tahun
1999 jo PP No. 39 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan usaha perasuransian.
Adanya perasaan traumatik pada asuransi
konvensional. Perasaan traumatik ini lahir karena mempunyai pengalaman dengan
asuransi konvensional yaitu ketika mereka sebagai nasabah asuransi konvensional
dan karena suatu hal tidak dapat menunaikan kewajibannya membayar premi maka
ketika mereka akan mengurus asuransi tersebut mengalami kesulitan prosedural
dan bahkan dalam polis secara jelas dan terang terdapat klausa bahwa apabila
tidak sanggup melakukan pembayaran maka uang yang sudah dibayar tidak bisa
dikembalikan.
Perkembangan dan pelaksanaan asuransi
syariah di Indonesia khususnya Yogyakarta masih mengalami kesulitan ataupun
kendala sebagai suatu hambatan dalam asuransi syariah. Adapun kendala ataupun
kesulitan yang dihadapi perusahaan asuransi dalam mengembangkan asuransi
syariah adalah :
a. Belum adanya payung hukum mengenai asuransi syariah.
Belum ada payung hukum yang secara khusus mengatur mengenai asuransi syariah di
Indonesia. Selama ini, asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada UU
No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Secara operasional asuransi
syariah masih mengacu pada regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah baik
berupa peraturan pemerintah melalui PP No. 73 Tahun 1992 jo PP No. 63 Tahun
1999 jo PP No. 39 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan usaha perasuransian,
maupun regulasi menteri keuangan yang berkaitan dengan asuransi syariah dan
juga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI melalui Fatwa DSN-MUI yang berkaitan
dengan asuransi syariah. Regulasi yang ada tersebut sudah lebih baik dan
mendukung pertumbuhan dan perkembangan asuransi syariah karena regulasi
tersebut dikeluarkan pemerintah melalui menteri keuangan berkaitan dengan
asuransi syariah, namun regulasi yang ada dan Fatwa DSN-MUI belum bisa
mengakomodasi asuransi syariah karena Fatwa DSN-MUI tidak mempunyai kekuatan
hukum, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang secara khusu
mengatur asuransi syariah. Namun, sampai saat ini belum ada payung hukum bagi
asuransi syariah, meskipun RUU Asuransi Syariah sudah lama diajukan ke DPR dan
diharapkan RUU ini akan segera disetujui DPR sebagaimana RUU Perbankan Syariah
yang telah lebih dulu disetujui belum lama ini.
b. Faktor sumber daya manusia. Masih terbatasnya sumber daya
manusia yang benar-benar mempunyai kualifikasi, mengerti mengenai syariah dan asuransi syariah, serta mempunyai
semangat perjuangan dan pengembangan ekonomi syariah khususnya asuransi
syariah. Minimnya sumber daya manusia ini disebabkan karena sebagian besar dari
sumber daya manusia yang ada merupakan lulusan dari program studi konvensional
dan kurang paham mengenai syariah sehingga menyebabkan ketidakcocokan antara
pengetahuan yang dipelajari saat di perguruan tinggi dengan bidang kerja yang
dijalaninya dan kondisi ini dapat menghambat perkembangan ekonomi syariah.
Selain jumlah sumber daya manusia yang minim, kendala dari segi sumber daya
manusia yaitu masih rendahnya motivasi diri dan belum ada pemahaman yang matang
mengenai segmentasi pasar dari team marketing perusahaan sehingga masih ada
kekacauan pasar.
c. Manajemen kantor cabang. Berdasarkan hasil observasi
lapangan ditemukan fakta bahwa manajemen kantor cabang masih tumpang tindih.
Kantor cabang belum mempunyai pemisahan fungsi manajemen layaknya di kantor
pusat sehingga dimungkinkan terjadi tumpang tindih diantara fungsi manajemen tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar