PENDAHULUAN
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip-Prinsip Syariah. Implementasi prinsip syariah inilah yang menjadi pembeda utama dengan bank konvensional. Pada intinya prinsip syariah tersebut mengacu kepada syariah Islam yang berpedoman utama kepada Al Quran dan Hadist.Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta (HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia (Hablumminannas).
Ada tiga pilar pokok dalam ajaran Islam yaitu[1]
:
Aqidah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang keyakinan atas
keberadaan dan kekuasaan Allah sehingga harus menjadi keimanan seorang muslim
manakala melakukan berbagai aktivitas dimuka bumi semata-mata untuk mendapatkan
keridlaan Allah sebagai khalifah yang mendapat amanah dari Allah.
Syariah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan seorang
muslim baik dalam bidang ibadah (habluminAllah) maupun dalam bidang muamalah
(hablumminannas) yang merupakan aktualisasi dari akidah yang menjadi
keyakinannya.
Sedangkan muamalah sendiri meliputi berbagai bidang
kehidupan antara lain yang menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan disebut
muamalah maliyah.
Akhlaq : landasan perilaku dan kepribadian yang akan mencirikan dirinya
sebagai seorang muslim yang taat berdasarkan syariah dan aqidah yang menjadi
pedoman hidupnya sehingga disebut memiliki akhlaqul karimah sebagaimana hadis
nabi yang menyatakan "Tidaklah sekiranya Aku diutus kecuali untuk
menjadikan akhlaqul karimah"
Cukup banyak tuntunan Islam yang mengatur tentang kehidupan ekonomi umat yang
antara lain secara garis besar adalah sebagai berikut:
· Tidak memperkenankan berbagai
bentuk kegiatan yang mengandung unsur spekulasi dan perjudian termasuk
didalamnya aktivitas ekonomi yang diyakini akan mendatangkan kerugian bagi
masyarakat. Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan
bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi
mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada
adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai
uang untuk menukar dengan barang.
·
Harta harus berputar (diniagakan)
sehingga tidak boleh hanya berpusat pada segelintir orang dan Allah sangat
tidak menyukai orang yang menimbun harta sehingga tidak produktif dan oleh
karenanya bagi mereka yang mempunyai harta yang tidak produktif akan dikenakan
zakat yang lebih besar dibanding jika diproduktifkan. Hal ini juga dilandasi
ajaran yang menyatakan bahwa kedudukan manusia dibumi sebagai khalifah yang
menerima amanah dari Allah sebagai pemilik mutlak segala yang terkandung
didalam bumi dan tugas manusia untuk menjadikannya sebesar-besar kemakmuran dan
kesejahteraan manusia.
· Bekerja dan atau mencari nafkah
adalah ibadah dan waJib dlakukan sehingga tidak seorangpun tanpa bekerja - yang
berarti siap menghadapi resiko – dapat memperoleh keuntungan atau
manfaat(bandingkan dengan perolehan bunga bank dari deposito yang bersifat
tetap dan hampir tanpa resiko).
· Dalam berbagai bidang kehidupan
termasuk dalam kegiatan ekonomi harus dilakukan secara transparan dan adil atas
dasar suka sama suka tanpa paksaan dari pihak manapun.
· Adanya kewajiban untuk melakukan
pencatatan atas setiap transaksi khususnya yang tidak bersifat tunai dan adanya
saksi yang bisa dipercaya (simetri dengan profesi akuntansi dan notaris).
· Zakat sebagai instrumen untuk
pemenuhan kewajiban penyisihan harta yang merupakan hak orang lain yang
memenuhi syarat untuk menerima, demikian juga anjuran yang kuat untuk
mengeluarkan infaq dan shodaqah sebagai manifestasi dari pentingnya pemerataan
kekayaan dan memerangi kemiskinan.
· Sesungguhnya telah menjadi
kesepakatan ulama, ahli fikih dan Islamic banker dikalangan dunia Islam yang
menyatakan bahwa bunga bank adalah riba dan riba diharamkan.
Dalam operasionalnya, perbankan syariah harus selalu
dalam koridor-koridorprinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Keadilan, yakni berbagi keuntungan
atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi dan resiko masing-masing pihak
2. Kemitraan, yang berarti posisi
nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna dana, serta lembaga keuangan
itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk
memperoleh keuntungan
3. Transparansi, lembaga keuangan
Syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan
agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya
4. Universal, yang artinya tidak
membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai dengan
prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin.
1.
Definisi syariah dan komponennya
Syariah secara
istilah dapat diartikan sebagai suatu sistem atau aturan yang bisa jadi
mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, atau hubungan manusia dengan
manusia.
Imam Abu Muhammad
Ali bin Hazm dalam kitab Al-Hikam fi Ushulil Ahkam Menurutnya,
syariah adalah jika terdapat teks yang tidak multitafsir dari Alquran, hadis,
taqrir Nabi Muhammad SAW, serta para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin, ataupun
konsesus ulama. Artinya, syariah dapat bersumber dari hal-hal tersebut yang
dapat diaplikasikan secara langsung. Semisal perintah shalat atau hal-hal yang
menyangkut akidah, muamalah, ibadah, dan akhlak.
Namun syariah
sendiri juga dalam perkembangannya diklasifikasikan berdasarkan perkembangan
zaman yang ada. Syariah bagi umat Muslim sangat familiar sebab Allah SWT telah
mengabadikan keberadaan syariah bagi umat Muslim dalam Alquran.
Allah SWT
berfirman dalam Alquran surat al-Maidah ayat 48 berbunyi: “Likulli ja’alna
minkum syir’atan wa minhajaa,”. Yang artinya: “Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang,”.
Dalam kehidupan
sehari-hari, syariah sangat berkaitan erat dengan ilmu fikih. Karena syariah
sendiri merupakan landasan fikih, sedangkan fikih merupakan metode ilmu yang
memerinci syariah dalam realitas yang terjadi.
Sedangkan konteks
fikih, menurut Imam Abu Hasan Al-Hamidi dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam
menjelaskan, fikih merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum syariah yang
didapat dalam dalil-dalil terperinci.
Fikih sejatinya
merupakan suatu metode ilmu yang menghasilkan kesepakatan hukum berdasarkan
metode konsesus ulama yang merujuk pada dalil Alquran maupun hadis. Karena
didapatkan melalui proses konsesus itu, maka tak heran setiap hukum yang
dilahirkan dari sebuah ijtihad ulama tak selamanya seragam.
Untuk itu, makna
dan pengertian
syariah dalam
penerapannya dibatasi dengan meliputi ilmu fikih dan ilmu ushul fikih. Keduanya
tak lepas dari empat bidang pembahasan jika diklasifikasikan dalam Madzhab Imam
Syafi’i antara lain ibadah, muamalah, uqubah, dan munakahah.
Sedangkan elemen
yang cukup dikenal saat ini adalah elemen muamalah. Yang termasuk di dalamnya
berisi tentang hukum-hukum sosial, perdata, warisan, perdagangan, keuangan, dan
lain sebagainya. Aspek syariah muamalah ini ramai dikenal karena mengandung
aspek kepentingan duniawi yang familiar sehari-hari.
Untuk itu hukum
syariah dengan ilmu fikih di Indonesia saling berkaitan. Apalagi masyarakat Muslim
Indonesia mayoritasnya menganut aliran Madzhab Syafi’i, sehingga penerapan
keduanya sangat dibutuhkan. Shalat, puasa, zakat, haji merupakan perintah yang
secara syariah diatur dengan jelas.
Sedangkan
bagaimana menghukumi tata cara perdagangan, pernikahan, hingga adab diurus
melalui jalur fikih yang dinamikanya elastis namun tidak melenceng dari ajaran
Alquran dan hadis.
2. Sumber-sumber
hukum Islam
1.
Al Quran
Al Quran adalah kalam
Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Tulisannya berbahasa Arab
dengan perantaraan Malaikat Jibril.
Al Quran juga merupakan hujjah atau argumentasi
kuat bagi Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman
hidup bagi manusia serta hukum-hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini untuk
mewujudkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
Pembagian Harta Warisan
Menurut Islam Al Quran sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan
ketidaksanggupan atau kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai
tandingan, walaupun manusia itu adalah orang pintar.
Dalam surat Al Isra ayat 88, Allah berfirman :
قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا
Katakanlah,
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa
(dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya,
sekalipun mereka saling membantu satu sama lain."
2. Hadits
Seluruh umat Islam telah
sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda, perbuatan dan persetujuam
Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah
Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan untuk mentaati
Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32:
قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ ۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْكٰفِرِيْنَ – ٣٢
Katakanlah (Muhammad),
"Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah
tidak menyukai orang-orang kafir."
Al Hadits sebagai sumber
hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai pemberi keterangan, sebagai
pentakhshis keumuman, dan membuat hukum baru yang ketentuannya tidak ada di
dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ada
kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT, dan adakalanya berasal dari
ijtihad.
3. Ijma
Imam Syafi'i memandang
ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan sunah Rasul. Dalam moraref atau
portal akademik Kementerian Agama bertajuk Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma
sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam dan Relevansinya dengan perkembangan Hukum
Islam Dewasa Ini karya Sitty Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu metode dalam
menetapkan hukum atas segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam
Al-Quran dan Sunnah. Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang
timbul di era globalisasi dan teknologi modern[2]
Jumhur ulama ushul fiqh
yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf, merumuskan ijma dengan kesepakatan
atau konsensus para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara' mengenai suatu kasus atau
peristiwa.
Ijma dapat dibagi menjadi
dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma sharih atau lafzhi adalah
kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat maupun perbuatan terhadap hukum
masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat langka terjadi, bahkan jangankan
yang dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan tidak dalam forum pun sulit dilakukan.
Bentuk ijma yang kedua
dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau
lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum satu masalah dalam masa tertentu
kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui orang banyak. Tidak ada
seorangpun di antara mujtahid lain yang menggungkapkan perbedaan pendapat atau
menyanggah pendapat itu setelah meneliti pendapat itu.
4. Qiyas
Sumber hukum Islam
selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah bentuk sistematis dan yang
telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang amat penting. Sebelumnya
dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas menduduki tempat terakhir
karena ia memandang qiyas lebih lemah dari pada ijma.
3.
Maqashid Syariah dalam
kaitannya dengan perbankan Islam
Maqasid
Syariah secara etimologi, terdiri dari dua kata yakni, maqasid dan syariah. Maqasid
adalah bentuk jamak dari maqshud yang berarti kesengajaan atau tujuan, syariah berarti
jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat dikatakan sebagai
jalan kearah
sumber kehidupan. (Fauzia, 2014)
Adapun
secara terminologi, Maqasid Syariah dapat diartikan sebagai tujuan-tujuan
ajaran Islam
atau juga dapat dipahami sebagai tujuan-tujuan pembuat syariat (Allah) dalam menggariskan
ajaran syariat Islam. (Saiful Muchlis, 2016) . Menurut Asy-Syatibi, maqashid syariah
merupakan tujuan syariah yang lebih memperhatikan kepentingan umum. Tidak dapat disangkal
bahwa syatibi adalah peletak dasar Ilmu Maqasid sehingga disebut sebagai Bapak Maqasid
Asy-Syariah. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat berdasarkan
penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok, yaitu: agama, jiwa,
akal, keturunan
serta harta. Penetapan kelima pokok tersebut didasarkan pada dalil Al-Quran dan Hadist[3].
Tema
terpenting dalam ilmu ushul fiqh adalah maqashid syariah. Maqashid
syariah adalah jantung dalam ilmu ushul fiqh, karena itu maqashid syariah
menduduki posisi yang sangat urgen dalam merumuskan ekonomi syariah,
menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah[4].
Maqashid
syariah dalam pengertian yang umum (dasar) adalah tujuan-tujuan syariah.
Tujuan-tujuan syariah tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di
dunia dan di akhirat. Kemaslahatan manusia diwujudkan dengan memelihara lima kebutuhan
pokok yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Kajian maqashid
syariah dalam ilmu ushul fiqh, bukan hanya terbatas pada pemahaman mengenai
tujuan-tujuan syariah dengan memelihara kemaslahatan lima pokok kebutuhan
dasar, (agama,jiwa,akal, keturunan dan harta), tetapi juga pengetahuan
(pemahaman) mengenai teori-teori syariah untuk mewujudkan maqashid syariah, landasan
filosofis, alasan rasional,illat,rahasia tasyri’, dan berbagai metode
perumusan diktum-diktum syariah lainnya. Seperti teori qiyas ; qiyas jaliy,
qiyas khafiy, illat,masalikul’illat, istihsan, maslahah mursalah,sadd
al-zariah, ‘urf, istishab,takhrijul manath, tanqihul manath,
tahqiqul manath,dan instrument-instrumen metodologis yang terkait dengan
maqashid syariah, yang disertai dengan kaedah-kaedah ushul fiqh mengenai
maqashid syariah. Konsep-konsep maqashid syariah itulah yang akan diterapkan
pada ekonomi, keuangan, dan perbankan syariah. Misalnya maqashid syariah dari
anuitas, hedging, pembiayaan indent, trade finance dan akad-akad hybrid,
pembiayaan murabahah, denda pada debitur yang menunda pembayaram, kartu kredit
syariah, gharar qalil, bagi hasil (revenue sharing, net revenue sharing dan
profit and lose sharing sharing), Profit Equalization Reserve (PER), dsb.
Para
ulama ushul fiqh sepakat bahwa pengetahuan maqashid syariah menjadi syarat
utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai problematika kehidupan ekonomi
dan keuangan yang terus berkembang. Maqashid syariah tidak saja diperlukan
untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal ; public
finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan
syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat
diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.
Tanpa maqashid
syariah, maka semua pemahaman mengenai ekonomi syariah, keuangan dan
perbankan syariah akan sempit dan kaku. Tanpa maqashid syariah, seorang pakar
dan praktisi ekonomi syariah akan selalu keliru dalam memahami ekonomi syariah.
Tanpa maqashid syariah, produk keuangan dan perbankan, regulasi, fatwa,
kebijakan fiscal dan moneter, akan kehilangan substansi
syariahnya. Tanpa maqashid
syariah, fikih muamalah yang dikembangkan
dan regulasi perbankan dan keuangan yang hendak dirumuskan akan kaku dan
statis, akibatnya lembaga perbankan dan keuangan syariah akan sulit dan lambat
berkembang. Tanpa pemahaman maqashid syariah, maka pengawas dari regulator
gampang menyalahkan yang benar ketika mengaudit bank-bank syariah. Tanpa
maqashid syariah, maka regulator (pengawas) akan gampang menolak produk
inovatif yang sudah sesuai syariah. Tanpa pemahaman maqashid syariah maka
regulasi dan ketentuan tentang PSAK syariah akan rancu, kaku dan dan mengalami
kesalahan fatal.
Jiwa
maqashid syariah akan mewujudkan fikih muamalah yang elastis, fleksibel, lincah
dan senantiasa bisa sesuai dengan perkembangan zaman(shilihun li kulli zaman
wa makan). Penerapan maqashid syariah akan membuat bank syariah dan
LKS semakin cepat berkembang dan kreatif menciptakan produk-produk baru,
sehingga tidak kalah dengan produk bank-bank konvensional.
4.
Elemen-Elemen Fundamental (Gharar,
Riba dan Maysir)
Secara umum, bentuk Gharar dapat dibagi menjadi 4[5] :
1. Gharar dalam Kuantitas
Misalnya
seorang petani tembakau sudah membuat kesepakatan jual beli dengan pabrik rokok
atas tembakau yang bahkan belum panen. Pada kasus ini, pada kedua belah pihak
baik petani tembakau maupun pabrik rokok mengalami ketidakpastian mengenai
berapa pastinya jumlah tembakau yang akan panen. Sehingga terdapat gharar atas
barang yang ditransaksikan.
2. Gharar dalam Kualitas
Misalnya
seorang pembeli sudah membuat kesepakatan untuk membeli anak kambing yang masih
berada di dalam kandungan. Pada kasus ini, baik penjual maupun pembeli tidak
mengetahui dengan pasti apakah nantinya anak kambing ini akan lahir dengan
sehat, cacat, atau bahkan mati. Sehingga terdapat ketidakpastian akan barang
yang diperjualbelikan.
3. Gharar dalam Harga
Misalnya
Tn. A menjual motornya kepada Tn. B dengan harga Rp 8.000.000 jika dibayar
lunas dan Rp 10.000.000 jika dicicil selama 10 bulan. Pada kasus ini, tidak ada
kejelasan mengenai harga mana yang dipakai. Bagaimana jika Tn. B dapat melunasi
motornya dalam waktu kurang dari 10 bulan? Harga mana yang akan dipakai? Hal
inilah yang menjadi suatu ketidakpastian dalam transaksi.
4. Gharar menyangkut waktu penyerahan
Misalnya
Basti sudah lama menginginkan handphone milik Miro. Handphone tersebut bernilai
Rp 4.000.000 di pasaran. Suatu saat, handphone tersebut hilang. Miro menawarkan
Basti untuk membeli handphone tersebut seharga Rp 1.500.000 dan barang akan
segera diserahkan begitu ditemukan. Dalam kasus ini, tidak ada kepastian
mengenai kapan handphone tersebut akan ditemukan, dan bahkan mungkin tidak akan
ditemukan. Hal ini menimbulkan gharar dalam waktu penyerahan barang transaksi.
Riba
adalah tambahan yang disyaratkan dalam tarnsaksi bisnis tanpa adanya pengganti
(iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut (Imam Sarakhzi).
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba
dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt
berfirman;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ
إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ
إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al Baqarah (2): 275]
Di dalam Sunnah, Nabiyullah Muhammad SAW :
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ
وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu
dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba),
maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah
bin Hanzhalah).
·
Maisir: Menurut bahasa maisir berarti
gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh
keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal
dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh
keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa
untung atau bisa rugi.Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana
yang disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut:"Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" (QS
Al-Maaidah : 90)
·
Pelarangan maisir oleh
Allah SWT dikarenakan efek negative maisir. Ketika melakukan
perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara
abnormal. Suatu saat ketika seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang
lebih besar ketimbang usaha yang dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung
seseorang dapat mengalami kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak sesuai
dengan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga diharamkan dalam sistem
keuangan Islam.
·
Gharar : Menurut bahasa gharar
berarti pertaruhan. Menurut istilah gharar berarti seduatu yang mengandung
ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian. Setiap transaksi yang masih belum
jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk
jual beli gharar. Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam
air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam
transaksi yang bersifat gharar. Pelarangan ghararkarena
memberikan efek negative dalam kehidupan karena gharar merupakan
praktik pengambilan keuntungan
secara bathil. Ayat dan hadits yang melarang
gharar diantaranya :
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui"
(Al-Baqarah : 188)
·
Riba: Makna harfiyah dari kata Riba adalah
pertambahan, kelebihan, pertumbuhan atau peningkatan. Sedangkan menurut istilah
teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
Para ulama sepakat bahwa hukumnya riba adalah haram. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat Ali Imran ayat 130 yang melarang kita untuk memakan harta riba
secara berlipat ganda. Sangatlah penting bagi kita sejak awal pembahasan bahwa
tidak terdapat perbedaan pendapat di antara umat Muslim mengenai pengharaman
Riba dan bahwa semua mazhab Muslim berpendapat keterlibatan dalam transaksi
yang mengandung riba adalah dosa besar[6].
Hal ini dikarenakan sumber utama syariah, yaitu Al-Qur'an dan Sunah benar-benar
mengutuk riba. Akan tetapi, ada perbedaan terkait dengan makna dari riba atau
apa saja yang merupakan riba harus dihindari untuk kesesuaian
aktivitas-aktivitas perekonomian dengan ajaran Syariah.
Ada banyak ayat Al-Qur'an yang
menjelaskan tentang keharaman riba, diantaranya:
·
Surat
Al-Baqarah, ayat 275:
Orang-orang yang makan
(mengambil) RIBA' tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan RIBA', padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan RIBA'. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil RIBA'), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Alloh. Orang yang kembali (mengambil RIBA'), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
·
Surat
An-Nisa, ayat 161:
Dan karena mereka menjalankan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya dan karena mereka
memakan harta orang dengan cara yang tidak sah (bathil). Kami telah menyediakan
untuk orang-orang kafir diantara mereka azab yang pedih.
·
Surat
Ali 'Imran, ayat 130:
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Surat Ar-Rum, ayat 39:
Dan sesuatu riba (tambahan)
yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah.
5.
Identifikasi transaksi yang
dilarang
Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam Islam
adalah transaksi yang disebabkan oleh kedua faktor berikut :
1. Haram zatnya (objek transaksinya)
Suatu
transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan
merupakan objek yang dilarang (haram) dalam hukum agama Islam. Seperti
memperjualbeli kan alkohol, narkoba, organ manusia, dll.
2. Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya)
Jenis
ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
Tadlis,
yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha
untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party)
dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan akan informasi
objek yang diperjualbelikan. Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas
(quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time
of delivery) atas objek yang ditransaksikan. Sebagai contoh : apabila kita menjual
hp second dengan kondisi baterai yang sudah sangat lemah, ketika kita menjual
hp tersebut tanpa memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka
transaksi yang kita lakukan menjadi haram hukumnya.
3.
Ikhtikar. Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana
produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara
mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar
ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar),
yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain
tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang
dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang
cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual
barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang berlimpah. Sebagai contoh:
ketika akan dirumorkan oleh pemerintah bahwa tarif bbm akan dinaikan, maka
marak terjadinya penimbunan bbm oleh para penjual nakal. Hal ini mereka lakukan
agar dapat menjual bbm dengan tarif yang sudah dinaikkan, sehingga mereka
mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
4.
Bai’ Najasy adalah sebuah situasi
di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada
banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan
naik. Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu,
melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang
bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang
yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar. Sebagai
contoh : ini sangat rentan terjadi ketika pelelangan suatu barang. Biasanya
yang mengadakan pelelangan bekerja sama dengan beberapa peserta pelelangan
dimana mereka bertugas untuk berpura-pura melakukan penawaran terhadap barang
yang dilelang, dengan kata lain untuk menaikkan harga barang yang dilelang
tersebut.
5.
Taghrir (Gharar), yaitu menurut
mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah: Al-ghararu manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada
baina amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa. Artinya: “gharar itu adalah apa-apa
yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah
yang paling kita takuti”.
Wahbah al-Zuhaili memberi pengertian tentang gharar sebagai al-khatar dan
altaghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau
sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian,
oleh karena itu dikatakan: al-dunya mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah
kesenangan yang menipu. Dengan demikian menurut bahasa, arti gharar adalah
al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada
unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui
barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar terjadi
apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan
musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini
adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian (ihtimal) semata. Inilah
yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang dalam Islam, kehebatan
sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar kedua belah pihak
tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat
sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara
syarat-syarat tersebut adalah:
-
Timbangan yang jelas (diketahui
dengan jelas berat jenis yang ditimbang)
Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang
majhul (tidak diketahui ketika beli).
-
Mempunyai tempo tangguh yang
dimaklumi
-
Ridha kedua belah pihak terhadap
bisnis yang dijalankan.
Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam
mempunyai perananan yang begitu hebat
dalam menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi
secara dztnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan.
6.
Issue dan Tantangan
Pembiayaan yang sudah tidak selancar dulu, menjadikan
banyak perusahaan yang bermitra dengan perbankan syariah mengalami masalah
finansial. Hal ini mendasari kegiatan Bincang Asyik Seputar Ekonomi (BAKSO)
yang diselenggarakan oleh Program Studi Ekonomi Islam Universitas Islam
Indonesia (UII) pada Sabtu (20/6) secara daring. Anom Garbo, S.E.I., M.E.I.,
dosen Program Studi Ekonomi Islam UII yang juga pengamat perbankan syariah
dihadirkan sebagai pembicara[7].
Dalam masa pandemi yang masih berlangsung, ekonomi
merupakan aspek yang cukup terdampak. Sebagian orang kehilangan pekerjaan
sebagai akibat dari sistem perusahaan yang harus terus disesuaikan dengan
kondisi saat ini. Pendapatan perekonomian beberapa sektor pun ikut menurun.
Tentu tidak ada yang pernah menduga akan datangnya masa ini. Menurut beberapa
ahli dan pengamat perbankan syariah, kondisi ini jauh lebih parah dibandingkan
dengan krisis moneter yang terjadi di tahun 1998. Krisis moneter saat itu lebih
berdampak pada sektor ekonomi, namun kondisi saat ini sudah memberikan dampak
multi dimensional.
Meskipun demikian, Anom Garbo menyampaikan bahwa new
normal bisa memberikan harapan baru bagi perbankan syariah, khususnya di
Indonesia. Bila dilihat dari historikal kemunculannya di Indonesia, perbankan
syariah lahir dari permintaan masyarakat. Hal ini membuat perbankan syariah
berkembang secara natural di Indonesia. Sehingga, muncul banyak optimisme untuk
menjaga eksistensi perbankan syariah di era new normal. Optimisme ini
semakin diperkuat dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh regulator
perbankan syariah seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI)
yang memberikan stimulus untuk dapat memperkuat perbankan syariah.
Kehadiran new normal menjadikan siapa yang cepat
beradaptasi, maka dia yang akan bertahan. Anom Garbo melihat perbankan syariah
sudah adaptif dalam menghadapi new normal. Salah satu keunggulan perbankan
syariah adalah adanya layanan simpanan emas, hal ini tidak dimiliki oleh
perbankan konvensional. Anom Garbo menyampaikan bahwa layanan simpan emas
merupakan salah satu layanan yang secara teori adalah layanan zero risk. Hal
ini dapat dimanfaatkan untuk menyaingi bank konvensional di masa pandemi.
“Keterpurukan semua sektor ekonomi, khususnya perbankan
di momen pandemi seharusnya menjadikan perbankan syariah dapat mencuri start
untuk melakukan terobosan baru dalam sistem daring. Momentum ini harus menjadi
pushback perbankan syariah untuk memperlihatkan dirinya kepada masyarakat,”
ujar Anom Garbo.
Anom Garbo menambahkan, masih banyak potensi perbankan
syariah yang dapat digali untuk memaksimalkan perbankan syariah. Sebagai
generasi muda, salah satu strategi nyata yang dapat dilakukan untuk memajukan
perbankan syariah adalah dengan mencari sebanyak-banyaknya sumber yang dapat
dijadikan jawaban untuk tantangan yang akan datang. Agar nantinya ketika ada
masalah-masalah yang tidak terduga, perbankan syariah tidak terbata-bata dalam
menghadapinya dan bisa lebih cepat untuk bangkit kembali
7. Empirical
Issue
Berapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga keuangan bank maupun
non bank yang bersipat formal dan beroperasi di pedesaan. Umumnya tidak dapat
menjangkau lapisan masyarakat dari golongan ekonomi menengah kebawah.
Ketidakmampuan tersebut terutama dalam sisi penanggungan risiko dan biaya
operasi, juga dalamindentifikasi usaha dan pemantauan penggunaan kredit yang layak
usaha. Ketidakmampuan lembaga keuangan ini menjadi penyebab terjadinya
kekosongan pada segmen pasar keuangan diwilayah pedesaan.
Akibatnya 70% s/d 90% kekosongan ini di isi oleh lembaga keuangan non
formal, termasuk yang ikut beroperasi adalah para rentenir denga menggunakan
suku bunga yang tinggi. Untuk mengulangi kejadian-kejadian seperi ini perlu
adanya suatu lembaga yang mampu menjadi jalan tengah. Wujud nyatanya adalah
dengan memperbanyak mengopersionakan lembaga keuangan berprinsip bagi hasil, yaitu
Bank umum syariah BPR syaria dan baitul mal wattamwil.
Adanya bank islam diharap kan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan
ekonomi masyarakat melalui pembiyaan-pembiyaan yang di keluarkan Bank islam.
Melalui pembiyaan ini bank. Islam dapat menjadi mitra dengan nasabah
sehingga hubungan bank islam dengan nasabah tidak lagi sebagai kreditur dan
debitur tetapi menjadi hubungan kemitraan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Otoritas Jasa Keuangan,‘Konsep
Dasar Perbankan Syariah’,(Jakarta : 2017)
[2] https://news.detik.com/berita/d-5216687/4-sumber-hukum-islam-yang-disepakati-ulama
[3] E Monicha, HE Puteri, Maqasid
Asy-Syari ‘Ah: Sebuah Kerangka Acuan Dalam Pengukuran Keberhasilan Program
Corporate Social Responsibility (Csr) Di Perbankan Syariah
[4] Abdullah,
Mokhtar. Et.al. Editor. Essays on Islamic Management and Organisational
Performance Measurements. Institut of Islamic Understanding Malaysia. Kuala
Lumpur.2003.
[5] Al-Ba’ly, Abdul Al-Hamid Mahmud, Ekonomi Zakat, Sebuah Kajian
Moneter dan Keuangan Syariah, Terj.Iqtishadiyatuaz-Zakat wa’tibaratus
siyasah al-maliyah wa an-nagdiyyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1991).
[6] Ahmad,
Kurshid. Editor. Elimination of Riba from the Economy.Institut of Policy
Studies, Islamabad.1995
[7] Berita, Tantangan
dan Peluang https://www.uii.ac.id/tantangan-dan-peluang-perbankan-syariah/ Universitas Islam
Indonesia; (Yogyakarta : 2020)
