Sabtu, 26 November 2022

KERANGKA SYARIAH DALAM MANAJEMEN PERBANKAN

 

KERANGKA  SYARIAH DALAM MANAJEMEN PERBANKAN 



PENDAHULUAN

Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip-Prinsip Syariah. Implementasi prinsip syariah inilah yang menjadi pembeda utama dengan bank konvensional. Pada intinya prinsip syariah tersebut mengacu kepada syariah Islam yang berpedoman utama kepada Al Quran dan Hadist.Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta (HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia (Hablumminannas).


Ada tiga pilar pokok dalam ajaran Islam yaitu[1] :

Aqidah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang keyakinan atas keberadaan dan kekuasaan Allah sehingga harus menjadi keimanan seorang muslim manakala melakukan berbagai aktivitas dimuka bumi semata-mata untuk mendapatkan keridlaan Allah sebagai khalifah yang mendapat amanah dari Allah.


Syariah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan seorang muslim baik dalam bidang ibadah (habluminAllah) maupun dalam bidang muamalah (hablumminannas) yang merupakan aktualisasi dari akidah yang menjadi keyakinannya.

Sedangkan muamalah sendiri meliputi berbagai bidang kehidupan antara lain yang menyangkut ekonomi atau harta dan perniagaan disebut muamalah maliyah.


Akhlaq : landasan perilaku dan kepribadian yang akan mencirikan dirinya sebagai seorang muslim yang taat berdasarkan syariah dan aqidah yang menjadi pedoman hidupnya sehingga disebut memiliki akhlaqul karimah sebagaimana hadis nabi yang menyatakan "Tidaklah sekiranya Aku diutus kecuali untuk menjadikan akhlaqul karimah"


Cukup banyak tuntunan Islam yang mengatur tentang kehidupan ekonomi umat yang antara lain secara garis besar adalah sebagai berikut:

·  Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan yang mengandung unsur spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas ekonomi yang diyakini akan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk menukar dengan barang.

·         Harta harus berputar (diniagakan) sehingga tidak boleh hanya berpusat pada segelintir orang dan Allah sangat tidak menyukai orang yang menimbun harta sehingga tidak produktif dan oleh karenanya bagi mereka yang mempunyai harta yang tidak produktif akan dikenakan zakat yang lebih besar dibanding jika diproduktifkan. Hal ini juga dilandasi ajaran yang menyatakan bahwa kedudukan manusia dibumi sebagai khalifah yang menerima amanah dari Allah sebagai pemilik mutlak segala yang terkandung didalam bumi dan tugas manusia untuk menjadikannya sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan manusia.

·     Bekerja dan atau mencari nafkah adalah ibadah dan waJib dlakukan sehingga tidak seorangpun tanpa bekerja - yang berarti siap menghadapi resiko – dapat memperoleh keuntungan atau manfaat(bandingkan dengan perolehan bunga bank dari deposito yang bersifat tetap dan hampir tanpa resiko).

·    Dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi harus dilakukan secara transparan dan adil atas dasar suka sama suka tanpa paksaan dari pihak manapun.

·    Adanya kewajiban untuk melakukan pencatatan atas setiap transaksi khususnya yang tidak bersifat tunai dan adanya saksi yang bisa dipercaya (simetri dengan profesi akuntansi dan notaris).

·    Zakat sebagai instrumen untuk pemenuhan kewajiban penyisihan harta yang merupakan hak orang lain yang memenuhi syarat untuk menerima, demikian juga anjuran yang kuat untuk mengeluarkan infaq dan shodaqah sebagai manifestasi dari pentingnya pemerataan kekayaan dan memerangi kemiskinan.

·      Sesungguhnya telah menjadi kesepakatan ulama, ahli fikih dan Islamic banker dikalangan dunia Islam yang menyatakan bahwa bunga bank adalah riba dan riba diharamkan.

 

Dalam operasionalnya, perbankan syariah harus selalu dalam koridor-koridorprinsip-prinsip sebagai berikut:

1.  Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi dan resiko masing-masing pihak

2.  Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan

3.   Transparansi, lembaga keuangan Syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya

4.  Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin.

 

 PEMBAHASAN

 

1.    Definisi syariah dan komponennya

 

Syariah secara istilah dapat diartikan sebagai suatu sistem atau aturan yang bisa jadi mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, atau hubungan manusia dengan manusia.

Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm dalam kitab Al-Hikam fi Ushulil Ahkam Menurutnya, syariah adalah jika terdapat teks yang tidak multitafsir dari Alquran, hadis, taqrir Nabi Muhammad SAW, serta para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin, ataupun konsesus ulama. Artinya, syariah dapat bersumber dari hal-hal tersebut yang dapat diaplikasikan secara langsung. Semisal perintah shalat atau hal-hal yang menyangkut akidah, muamalah, ibadah, dan akhlak.

Namun syariah sendiri juga dalam perkembangannya diklasifikasikan berdasarkan perkembangan zaman yang ada. Syariah bagi umat Muslim sangat familiar sebab Allah SWT telah mengabadikan keberadaan syariah bagi umat Muslim dalam Alquran.

Allah SWT berfirman dalam Alquran surat al-Maidah ayat 48 berbunyi: “Likulli ja’alna minkum syir’atan wa minhajaa,”. Yang artinya: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang,”.

Dalam kehidupan sehari-hari, syariah sangat berkaitan erat dengan ilmu fikih. Karena syariah sendiri merupakan landasan fikih, sedangkan fikih merupakan metode ilmu yang memerinci syariah dalam realitas yang terjadi.

Sedangkan konteks fikih, menurut Imam Abu Hasan Al-Hamidi dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam menjelaskan, fikih merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum syariah yang didapat dalam dalil-dalil terperinci.

Fikih sejatinya merupakan suatu metode ilmu yang menghasilkan kesepakatan hukum berdasarkan metode konsesus ulama yang merujuk pada dalil Alquran maupun hadis. Karena didapatkan melalui proses konsesus itu, maka tak heran setiap hukum yang dilahirkan dari sebuah ijtihad ulama tak selamanya seragam.

Untuk itu, makna dan pengertian syariah dalam penerapannya dibatasi dengan meliputi ilmu fikih dan ilmu ushul fikih. Keduanya tak lepas dari empat bidang pembahasan jika diklasifikasikan dalam Madzhab Imam Syafi’i antara lain ibadah, muamalah, uqubah, dan munakahah.

Sedangkan elemen yang cukup dikenal saat ini adalah elemen muamalah. Yang termasuk di dalamnya berisi tentang hukum-hukum sosial, perdata, warisan, perdagangan, keuangan, dan lain sebagainya. Aspek syariah muamalah ini ramai dikenal karena mengandung aspek kepentingan duniawi yang familiar sehari-hari.

Untuk itu hukum syariah dengan ilmu fikih di Indonesia saling berkaitan. Apalagi masyarakat Muslim Indonesia mayoritasnya menganut aliran Madzhab Syafi’i, sehingga penerapan keduanya sangat dibutuhkan. Shalat, puasa, zakat, haji merupakan perintah yang secara syariah diatur dengan jelas.

Sedangkan bagaimana menghukumi tata cara perdagangan, pernikahan, hingga adab diurus melalui jalur fikih yang dinamikanya elastis namun tidak melenceng dari ajaran Alquran dan hadis.

2.      Sumber-sumber hukum Islam

1.    Al Quran

Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Tulisannya berbahasa Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril.
Al Quran juga merupakan hujjah atau argumentasi kuat bagi Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman hidup bagi manusia serta hukum-hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini untuk mewujudkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Pembagian Harta Warisan Menurut Islam Al Quran sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan ketidaksanggupan atau kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai tandingan, walaupun manusia itu adalah orang pintar.


Dalam surat Al Isra ayat 88, Allah berfirman :

 

قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا

Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain."

2. Hadits

Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda, perbuatan dan persetujuam Rasulullah Muhammad SAW tersebut adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW seperti firman Allah SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32:


قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ ۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْكٰفِرِيْنَ٣٢

 

Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir."

Al Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai pemberi keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum baru yang ketentuannya tidak ada di dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ada kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT, dan adakalanya berasal dari ijtihad.

 

3. Ijma

Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al Quran dan sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik Kementerian Agama bertajuk Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam dan Relevansinya dengan perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty Fauzia Tunai, Ijma' adalah salah satu metode dalam menetapkan hukum atas segala permasalahan yang tidak didapatkan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era globalisasi dan teknologi modern[2]

Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf, merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara' mengenai suatu kasus atau peristiwa.

Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga sangat langka terjadi, bahkan jangankan yang dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan tidak dalam forum pun sulit dilakukan.

Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum satu masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui orang banyak. Tidak ada seorangpun di antara mujtahid lain yang menggungkapkan perbedaan pendapat atau menyanggah pendapat itu setelah meneliti pendapat itu.


4. Qiyas

Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas adalah bentuk sistematis dan yang telah berkembang fari ra'yu yang memainkan peran yang amat penting. Sebelumnya dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas menduduki tempat terakhir karena ia memandang qiyas lebih lemah dari pada ijma.

 

3.         Maqashid Syariah dalam kaitannya dengan perbankan Islam

 

Maqasid Syariah secara etimologi, terdiri dari dua kata yakni, maqasid dan syariah. Maqasid adalah bentuk jamak dari maqshud yang berarti kesengajaan atau tujuan, syariah berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber kehidupan. (Fauzia, 2014)

Adapun secara terminologi, Maqasid Syariah dapat diartikan sebagai tujuan-tujuan ajaran Islam atau juga dapat dipahami sebagai tujuan-tujuan pembuat syariat (Allah) dalam menggariskan ajaran syariat Islam. (Saiful Muchlis, 2016) . Menurut Asy-Syatibi, maqashid syariah merupakan tujuan syariah yang lebih memperhatikan kepentingan umum. Tidak dapat disangkal bahwa syatibi adalah peletak dasar Ilmu Maqasid sehingga disebut sebagai Bapak Maqasid Asy-Syariah. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan serta harta. Penetapan kelima pokok tersebut didasarkan pada dalil Al-Quran dan Hadist[3].

Tema terpenting dalam ilmu ushul fiqh adalah maqashid syariah. Maqashid syariah adalah jantung dalam ilmu ushul fiqh, karena itu maqashid syariah menduduki posisi yang sangat urgen dalam merumuskan ekonomi syariah, menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah[4].

Maqashid syariah dalam pengertian yang umum (dasar) adalah tujuan-tujuan syariah. Tujuan-tujuan syariah tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan manusia diwujudkan dengan memelihara lima kebutuhan pokok yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Kajian maqashid syariah dalam ilmu ushul fiqh, bukan hanya terbatas pada pemahaman mengenai tujuan-tujuan syariah dengan memelihara kemaslahatan lima pokok kebutuhan dasar, (agama,jiwa,akal, keturunan dan harta), tetapi juga pengetahuan (pemahaman) mengenai teori-teori syariah untuk mewujudkan maqashid syariah, landasan filosofis, alasan rasional,illat,rahasia tasyri’, dan berbagai metode perumusan diktum-diktum syariah lainnya. Seperti teori qiyas ; qiyas jaliy, qiyas khafiy, illat,masalikul’illat, istihsan, maslahah mursalah,sadd al-zariah, ‘urf, istishab,takhrijul manath, tanqihul manath, tahqiqul manath,dan instrument-instrumen metodologis yang terkait dengan maqashid syariah, yang disertai dengan kaedah-kaedah ushul fiqh mengenai maqashid syariah. Konsep-konsep maqashid syariah itulah yang akan diterapkan pada ekonomi, keuangan, dan perbankan syariah. Misalnya maqashid syariah dari anuitas, hedging, pembiayaan indent, trade finance dan akad-akad hybrid, pembiayaan murabahah, denda pada debitur yang menunda pembayaram, kartu kredit syariah, gharar qalil, bagi hasil (revenue sharing, net revenue sharing dan profit and lose sharing sharing), Profit Equalization Reserve (PER), dsb.

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa pengetahuan maqashid syariah menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai problematika kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqashid syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal ; public finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.

Tanpa maqashid syariah, maka semua pemahaman mengenai ekonomi syariah, keuangan dan perbankan syariah akan sempit dan kaku. Tanpa maqashid syariah, seorang pakar dan praktisi ekonomi syariah akan selalu keliru dalam memahami ekonomi syariah. Tanpa maqashid syariah, produk keuangan dan perbankan, regulasi, fatwa, kebijakan fiscal dan moneter, akan kehilangan substansi syariahnya. Tanpa maqashid syariah, fikih muamalah yang dikembangkan dan regulasi perbankan dan keuangan yang hendak dirumuskan akan kaku dan statis, akibatnya lembaga perbankan dan keuangan syariah akan sulit dan lambat berkembang. Tanpa pemahaman maqashid syariah, maka pengawas dari regulator gampang menyalahkan yang benar ketika mengaudit bank-bank syariah. Tanpa maqashid syariah, maka regulator (pengawas) akan gampang menolak produk inovatif yang sudah sesuai syariah. Tanpa pemahaman maqashid syariah maka regulasi dan ketentuan tentang PSAK syariah akan rancu, kaku dan dan mengalami kesalahan fatal.

Jiwa maqashid syariah akan mewujudkan fikih muamalah yang elastis, fleksibel, lincah dan senantiasa bisa sesuai dengan perkembangan zaman(shilihun li kulli zaman wa makan). Penerapan maqashid syariah akan membuat bank syariah dan LKS semakin cepat berkembang dan kreatif menciptakan produk-produk baru, sehingga tidak kalah dengan produk bank-bank konvensional.

 

4.    Elemen-Elemen Fundamental (Gharar, Riba dan Maysir)

 

Secara umum, bentuk Gharar dapat dibagi menjadi 4[5] :

1. Gharar dalam Kuantitas

Misalnya seorang petani tembakau sudah membuat kesepakatan jual beli dengan pabrik rokok atas tembakau yang bahkan belum panen. Pada kasus ini, pada kedua belah pihak baik petani tembakau maupun pabrik rokok mengalami ketidakpastian mengenai berapa pastinya jumlah tembakau yang akan panen. Sehingga terdapat gharar atas barang yang ditransaksikan.

2. Gharar dalam Kualitas

Misalnya seorang pembeli sudah membuat kesepakatan untuk membeli anak kambing yang masih berada di dalam kandungan. Pada kasus ini, baik penjual maupun pembeli tidak mengetahui dengan pasti apakah nantinya anak kambing ini akan lahir dengan sehat, cacat, atau bahkan mati. Sehingga terdapat ketidakpastian akan barang yang diperjualbelikan.

3. Gharar dalam Harga

Misalnya Tn. A menjual motornya kepada Tn. B dengan harga Rp 8.000.000 jika dibayar lunas dan Rp 10.000.000 jika dicicil selama 10 bulan. Pada kasus ini, tidak ada kejelasan mengenai harga mana yang dipakai. Bagaimana jika Tn. B dapat melunasi motornya dalam waktu kurang dari 10 bulan? Harga mana yang akan dipakai? Hal inilah yang menjadi suatu ketidakpastian dalam transaksi.

4. Gharar menyangkut waktu penyerahan

Misalnya Basti sudah lama menginginkan handphone milik Miro. Handphone tersebut bernilai Rp 4.000.000 di pasaran. Suatu saat, handphone tersebut hilang. Miro menawarkan Basti untuk membeli handphone tersebut seharga Rp 1.500.000 dan barang akan segera diserahkan begitu ditemukan. Dalam kasus ini, tidak ada kepastian mengenai kapan handphone tersebut akan ditemukan, dan bahkan mungkin tidak akan ditemukan. Hal ini menimbulkan gharar dalam waktu penyerahan barang transaksi.

Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam tarnsaksi bisnis tanpa adanya pengganti (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut (Imam Sarakhzi).

Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;

 

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

 

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al Baqarah (2): 275]

 

Di dalam Sunnah, Nabiyullah Muhammad SAW :

 

دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً

 

Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).

 

·         Maisir:  Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi.Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut:"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" (QS Al-Maaidah : 90)

·         Pelarangan maisir oleh Allah SWT dikarenakan efek negative maisir. Ketika melakukan perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara abnormal. Suatu saat ketika seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang usaha yang dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung seseorang dapat mengalami kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga diharamkan dalam sistem keuangan Islam.

·         Gharar : Menurut bahasa  gharar  berarti pertaruhan. Menurut istilah gharar berarti seduatu yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian. Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat gharar.  Pelarangan ghararkarena memberikan efek negative dalam kehidupan karena gharar merupakan praktik pengambilan keuntungan secara bathil. Ayat dan hadits yang melarang gharar diantaranya :

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" (Al-Baqarah : 188)

·         Riba:  Makna harfiyah dari kata Riba adalah pertambahan, kelebihan, pertumbuhan atau peningkatan. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Para ulama sepakat bahwa hukumnya riba adalah haram. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 130 yang melarang kita untuk memakan harta riba secara berlipat ganda. Sangatlah penting bagi kita sejak awal pembahasan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapat di antara umat Muslim mengenai pengharaman Riba dan bahwa semua mazhab Muslim berpendapat keterlibatan dalam transaksi yang mengandung riba adalah dosa besar[6]. Hal ini dikarenakan sumber utama syariah, yaitu Al-Qur'an dan Sunah benar-benar mengutuk riba. Akan tetapi, ada perbedaan terkait dengan makna dari riba atau apa saja yang merupakan riba harus dihindari untuk kesesuaian aktivitas-aktivitas perekonomian dengan ajaran Syariah.

Ada banyak ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang keharaman riba, diantaranya:

·         Surat Al-Baqarah, ayat 275:

Orang-orang yang makan (mengambil) RIBA' tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan RIBA', padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan RIBA'. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil RIBA'), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Alloh. Orang yang kembali (mengambil RIBA'), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

·         Surat An-Nisa, ayat 161:

Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang tidak sah (bathil). Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka azab yang pedih.

·         Surat Ali 'Imran, ayat 130:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Surat Ar-Rum, ayat 39:

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.

 

 

 

5.    Identifikasi transaksi yang dilarang

 

Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh kedua faktor berikut :

1. Haram zatnya (objek transaksinya)

Suatu transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan merupakan objek yang dilarang (haram) dalam hukum agama Islam. Seperti memperjualbeli kan alkohol, narkoba, organ manusia, dll.

2. Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya)

Jenis ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

Tadlis, yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan akan informasi objek yang diperjualbelikan. Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan. Sebagai contoh : apabila kita menjual hp second dengan kondisi baterai yang sudah sangat lemah, ketika kita menjual hp tersebut tanpa memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka transaksi yang kita lakukan menjadi haram hukumnya.

3.      Ikhtikar.  Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang berlimpah. Sebagai contoh: ketika akan dirumorkan oleh pemerintah bahwa tarif bbm akan dinaikan, maka marak terjadinya penimbunan bbm oleh para penjual nakal. Hal ini mereka lakukan agar dapat menjual bbm dengan tarif yang sudah dinaikkan, sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

4.      Bai’ Najasy adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar. Sebagai contoh : ini sangat rentan terjadi ketika pelelangan suatu barang. Biasanya yang mengadakan pelelangan bekerja sama dengan beberapa peserta pelelangan dimana mereka bertugas untuk berpura-pura melakukan penawaran terhadap barang yang dilelang, dengan kata lain untuk menaikkan harga barang yang dilelang tersebut.

5.      Taghrir (Gharar), yaitu menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah: Al-ghararu  manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada baina amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa. Artinya: “gharar itu adalah   apa-apa   yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita  dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti”.

Wahbah al-Zuhaili memberi pengertian  tentang gharar sebagai al-khatar dan altaghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu dikatakan: al-dunya mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu. Dengan demikian menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian (ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah:

-          Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang ditimbang)

Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul (tidak diketahui ketika beli).

-          Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi

-          Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.

Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai perananan  yang begitu hebat dalam menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi secara dztnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan.

6.    Issue dan Tantangan

 

Pembiayaan yang sudah tidak selancar dulu, menjadikan banyak perusahaan yang bermitra dengan perbankan syariah mengalami masalah finansial. Hal ini mendasari kegiatan Bincang Asyik Seputar Ekonomi (BAKSO) yang diselenggarakan oleh Program Studi Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (UII) pada Sabtu (20/6) secara daring. Anom Garbo, S.E.I., M.E.I., dosen Program Studi Ekonomi Islam UII yang juga pengamat perbankan syariah dihadirkan sebagai pembicara[7].

Dalam masa pandemi yang masih berlangsung, ekonomi merupakan aspek yang cukup terdampak. Sebagian orang kehilangan pekerjaan sebagai akibat dari sistem perusahaan yang harus terus disesuaikan dengan kondisi saat ini. Pendapatan perekonomian beberapa sektor pun ikut menurun. Tentu tidak ada yang pernah menduga akan datangnya masa ini. Menurut beberapa ahli dan pengamat perbankan syariah, kondisi ini jauh lebih parah dibandingkan dengan krisis moneter yang terjadi di tahun 1998. Krisis moneter saat itu lebih berdampak pada sektor ekonomi, namun kondisi saat ini sudah memberikan dampak multi dimensional.

Meskipun demikian, Anom Garbo menyampaikan bahwa new normal bisa memberikan harapan baru bagi perbankan syariah, khususnya di Indonesia. Bila dilihat dari historikal kemunculannya di Indonesia, perbankan syariah lahir dari permintaan masyarakat. Hal ini membuat perbankan syariah berkembang secara natural di Indonesia. Sehingga, muncul banyak optimisme untuk menjaga eksistensi perbankan syariah di era new normal. Optimisme ini semakin diperkuat dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh regulator perbankan syariah seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) yang memberikan stimulus untuk dapat memperkuat perbankan syariah.

Kehadiran new normal menjadikan siapa yang cepat beradaptasi, maka dia yang akan bertahan. Anom Garbo melihat perbankan syariah sudah adaptif dalam menghadapi new normal. Salah satu keunggulan perbankan syariah adalah adanya layanan simpanan emas, hal ini tidak dimiliki oleh perbankan konvensional. Anom Garbo menyampaikan bahwa layanan simpan emas merupakan salah satu layanan yang secara teori adalah layanan zero risk. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menyaingi bank konvensional di masa pandemi.

“Keterpurukan semua sektor ekonomi, khususnya perbankan di momen pandemi seharusnya menjadikan perbankan syariah dapat mencuri start untuk melakukan terobosan baru dalam sistem daring. Momentum ini harus menjadi pushback perbankan syariah untuk memperlihatkan dirinya kepada masyarakat,” ujar Anom Garbo.

Anom Garbo menambahkan, masih banyak potensi perbankan syariah yang dapat digali untuk memaksimalkan perbankan syariah. Sebagai generasi muda, salah satu strategi nyata yang dapat dilakukan untuk memajukan perbankan syariah adalah dengan mencari sebanyak-banyaknya sumber yang dapat dijadikan jawaban untuk tantangan yang akan datang. Agar nantinya ketika ada masalah-masalah yang tidak terduga, perbankan syariah tidak terbata-bata dalam menghadapinya dan bisa lebih cepat untuk bangkit kembali

 

7.    Empirical Issue

 

Berapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga keuangan bank maupun non bank yang bersipat formal dan beroperasi di pedesaan. Umumnya tidak dapat menjangkau lapisan masyarakat dari golongan ekonomi menengah kebawah. Ketidakmampuan tersebut terutama dalam sisi penanggungan risiko dan biaya operasi, juga dalamindentifikasi usaha dan pemantauan penggunaan kredit yang layak usaha. Ketidakmampuan lembaga keuangan ini menjadi penyebab terjadinya kekosongan pada segmen pasar keuangan diwilayah pedesaan.

Akibatnya 70% s/d 90% kekosongan ini di isi oleh lembaga keuangan non formal, termasuk yang ikut beroperasi adalah para rentenir denga menggunakan suku bunga yang tinggi. Untuk mengulangi kejadian-kejadian seperi ini perlu adanya suatu lembaga yang mampu menjadi jalan tengah. Wujud nyatanya adalah dengan memperbanyak mengopersionakan lembaga keuangan berprinsip bagi hasil, yaitu Bank umum syariah BPR syaria dan baitul mal wattamwil.

Adanya bank islam diharap kan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiyaan-pembiyaan yang di keluarkan Bank islam.

Melalui pembiyaan ini bank. Islam dapat menjadi mitra dengan nasabah sehingga hubungan bank islam dengan nasabah tidak lagi sebagai kreditur dan debitur tetapi menjadi hubungan kemitraan.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 




[1] Otoritas Jasa Keuangan,‘Konsep Dasar Perbankan Syariah’,(Jakarta : 2017)

[2] https://news.detik.com/berita/d-5216687/4-sumber-hukum-islam-yang-disepakati-ulama

[4] Abdullah, Mokhtar. Et.al. Editor. Essays on Islamic Management and Organisational Performance Measurements. Institut of Islamic Understanding Malaysia. Kuala Lumpur.2003.

 

[5] Al-Ba’ly, Abdul Al-Hamid Mahmud, Ekonomi Zakat, Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah, Terj.Iqtishadiyatuaz-Zakat wa’tibaratus siyasah al-maliyah wa an-nagdiyyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1991).

 

[6] Ahmad, Kurshid. Editor. Elimination of Riba from the Economy.Institut of Policy Studies, Islamabad.1995

[7] Berita, Tantangan dan Peluang https://www.uii.ac.id/tantangan-dan-peluang-perbankan-syariah/ Universitas Islam Indonesia; (Yogyakarta : 2020)


RPS MATA KULIAH MANAJEMEN RESIKO

    INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS (ITB) HAJI AGUS SALIM BUKITTINGGI PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN, S1 AKUNTANSI S1 DIGITAL BIS...