PERSOALAN, TANTANGAN DAN PELUANG PERBANKAN SYARIAH
PENDAHULUAN
Perbankan
syariah pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1991 lahir didasarkan banyaknya permintaan pada lembaga keuangan yang berbasis syariah.
pelopor pendirian bank syariah pertama kali di Indonesia adalah Bank Muamalat.
Pendirian Bank Syariah di Indonesia diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada krisis moneter tahun 1998 bank
syariah mampu mengembangkan sayapnya dengan sistem bagi hasilnya sehingga tidak
goyah akibat terjadinya kenaikan suku bunga secara besar-besaran pada krisis
moneter tahun 1998.[1]
Kebutuhan untuk
melakukan perubahan sistem keuangan perbankan menjadi penting, mengingat sistem
perbankan dalam kehidupan ekonomi modern memegang peranan yang cukup dominan,
khususnya bagi negara- negara yang berpenduduk muslim. Sehingga dibutuhkan lah
pengaplikasikan lembaga perbankan syariah yang sesuai dengan kaidah syariat.
Perbankan Syariah juga dibahas dalam Al-Quran dan sunnah sehingga dapat
berjalan sesuai koridor syariah.[2]
PEMBAHASAN
Perbankan Islam dalam krisis
keuangan global
Sesungguhnya turunnya nilai rupiah ini bisa meningkatkan nilai
ekspor, krisis keuangan menyebabkan turunnya permintaan komoditas dari luar
negeri. Turunnya ekspor mengurangi pendapatan negara sehingga jika tidak
diimbangi dengan turunnya pengeluaran dollar melalui penurunan tingkat impor
akan menyebabkan defisit perdagangan. Defisit perdagangan mempersulit modal
masuk seiring dengan keringnya likuiditas pasar keuangan global. Selain itu,
kenaikan impor di saat pasar ekspor stagnan akan menekan kenaikan cadangan
devisa dan berarti akan memunculkan ekspektasi gejolak depresiasi rupiah. Juga,
kemerosotan akan mengacaukan dan menurunkan produksi dalam negeri yang juga
berakibat pengurangan pekerja atau peningkatan pengangguran.
Untuk mengatasi dampak krisis ini, BI menempuh beberapa langkah,
yaitu memperkuat likuiditas sektor perbankan, menjaga pertumbuhan pada tingkat yang sesuai untuk mendukung
target pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan terkait neraca pembayaran. Kebijakan
yang dijalankan adalah memperkuat sektor perbankan untuk mengantisipasi dampak
pengeringan likuiditas global, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Kebijakan
lain yang ditempuh Bank Indonesia adalah menyederhanakan aturan Giro Wajib
Minimum (GWM) untuk menambah kepercayaan diri bank terhadap kondisi likuiditas
perbankan yang melemah akibat krisis keuangan global. Giro Wajib Minimum (statutory reserve) adalah simpanan
minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada
Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase
tertentu dari Dana Pihak Ketiga (DPK) bank. Selain itu, juga membuka ruang
untuk repo Surat Utang Negara (SUN)
atau SBI yang diperpanjang masa berlakunya hingga tiga bulan. [3]
Krisis keuangan ini menyebabkan dana yang direpatriasi berjumlah
besar sehingga menimbulkan penjualan saham dan surat berharga utang dalam
jumlah yang besar. Keadaan ini menjadikan harga sekuritas saham dan surat
berharga utang akan turun sehingga indeks harga saham turun tajam. Turunnya
kepercayaan terhadap pasar domestik menyebabkan permintaan terhadap dolar naik
signifikan, yang berarti mengakibatkan nilai dolar terhadap rupiah naik.
Depresiasi rupiah tidak saja disebabkan langsung oleh penarikan dana tersebut
di atas, tetapi juga berpotensi diperparah karena lebih besar dari tingkat
depresiasi mata uang di luar dolar. Depresiasi hampir semua mata uang di luar
dolar karena dolar ditarik kembali untuk memback-up
likuditas perusahaan AS. Keadaan ini menjadikan dolar semakin mahal karena
dolar semakin langka dan permintaan dolar pun akhirnya meningkat.[4]
Gejolak kurs akan berdampak pada kenaikan harga atau inflasi
menjadi tinggi, serta sebagai dasar rasional terus timbulnya ekspektasi inflasi
tinggi (the expectation of high inflation)
yang pada gilirannya akan direalisasikan pada kenaikan harga atau inflasi terus
meninggi dan timbulnya gejolak kurs. Keadaan ini menimbulkan keinginan
melakukan currency substitution dari
rupiah ke dolar. Apalagi kecenderungan ini dikaitkan dengan ekspektasi inflasi
di Indonesia yang cukup tinggi dalam dua angka (double digits). Dalam
kondisi seperti ini, semua kemungkinan ekonomi dapat berpotensi mengakibatkan
gejolak rupiah terhadap dolar. Gejolak
kurs dan ekpektasi gejolak depresiasi rupiah yang besar dapat menyebabkan dana
masyarakat berpindah atau lari ke bank yang berkualitas tinggi dan bank asing
di dalam negeri dan di luar negeri (currency
substitution). Gejolak itu juga akan mengakibatkan debitur bank mengalami
kesulitan usaha, dengan konsekuensi selanjutnya tidak mampu bayar pokok utang
dan bunga ke bank. Akibatnya, bank
mengalami kesulitan likuiditas dan menyebabkan meningkatnya cost of fund sehingga bank tidak bisa
memenuhi kewajibannya kepada Dana Pihak Ketiga (DPK).[5]
Pengaruh Krisis pada Bank Syariah
Bank syariah
secara langsung. Sistem jual beli (bai’)
di bank syariah, dimana pembayaran margin didasarkan fixed rate dimana ketetapan didasarkan kontrak tidak bisa berubah
sewaktu-waktu seperti hanya dengan bunga. Namun bagi produk bagi hasil
dimungkinkan krisis keuangan ini akan mempengaruhi return bank syariah karena krisis keuangaan akan mempengaruhi bagi
hasil pegusaha untuk mendapatkan laba optimal.kenaikan tingkat bunga akan
menurunkan minat masyarakat yang menyimpan dana di bank syariah karena tingkat
marginnya lebih rendah di banding dengan tingkat bunga simpanan bank
konvensional. Namun, bank syariah akan lebih menguntungkan bagi investor
dikarenakan margin yang dibebankan pada investor bank syariah lebih rendah
dibanding dengan bank konvensional.[6]
Dalam menjaga likuditas, tingkat bunga masih menjadi benchmark bagi bank syariah dalam
penentuan tingkat margin dan nisbah bagi hasil bank syariah. Dengan tingkat
margin pembiayaan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat fee/bagi hasil pada tabungan dan
deposito, membuat pembiayaan bank syariah lebih menarik bagi investor dibanding
bank konvensional. Keadaan ini akan menyebabkan meningkatnya dana yang keluar
untuk pembiayan dari dana pihak ketiga (DPK) yang masuk sehingga konsekuensinya
financing deposit rasio (FDR) bank
syariah meningkat. Kondisi berbeda ada pada pihak penabung yang akan lari ke
bank konvensional karena akan menikmati keuntungan bunga lebih tinggi dibanding
dengan bank syariah. Meningkatnya dana keluar akan meningkatkan resiko
likuditas bank syariah. Untuk mengatasi keadaan ini, bank syariah perlu
meningkatkan rate bonus/fee/bagi hasil untuk giro, tabungan, dan
deposito.
Sebagai bank syariah yang tidak mengunakan bunga, tingkat
imbalan/margin/bagi hasil/fee bank
syariah lebih rendah dibanding dengan bank konvensional. Mayoritas struktur
pembiayaan bank syariah yang mengunakan skim murabahah, dimana tingkat margin
ditetapkan di saat akad dilakukan, pada tahun 1998 marginnya adalah 14.92% atau
naik dari tahun 1997 yang nilainya sebesar 14.66%. Di lain pihak, tingkat
ekuivalen bagi hasil pada mudharabah
meningkat di akhir tahun 2008 menjadi 19.38% dari tahun sebelumnya, 16.93%.
Kenaikan margin dan bagi hasil pada produk bank syariah ini merupakan usaha
untuk menghindari persoalan likuiditas diakibatkan dari krisis keuangan global
yang memicu naiknya tingkat bunga perbankan nasional.[7]
Tingkat margin dan bagi hasil pembiayaan bank syariah relatif lebih
tinggi dibanding dengan rata-rata tingkat bunga kredit bank konvensional. Hal
sama terjadi pada tingkat bonus/bagi hasil pada tabungan dan deposito bank
syariah yang meningkat walaupun kenaikan pada tahun 2009 masih dibawah tingkat
bunga tabungan dan deposito bank konvensional. Rendahnya tingkat bagi hasil
bank syariah ini menyebabkan turunnya minat nasabah untuk menyimpan dananya
pada bank syariah. Sementara itu, pada saat yang sama tingkat margin dan bagi
hasil pada pembiayaan bank syariah lebih tinggi daripada bank konvensional
sehingga menyebabkan nasabah cenderung lebih tertarik untuk mengajukan pinjaman
ke bank konvensional.[8]
Tingginya tingkat margin dan bagi hasil pada bank syariah lebih
dikarenakan adanya sejumlah faktor. Faktor yang pertama adalah sebagai lembaga
keuangan yang keberadaannya relatif baru membutuhkan biaya (overhead cost) yang cukup tinggi.
Biaya-biaya itu dikeluarkan untuk membangun kantor, fasilitas kantor, penataan
sistem, dan pelatihan tenaga kerja.
Faktor kedua adalah tingginya inflasi yang menjadi faktor dalam menentukan tingkat
imbalan/fee/bonus/ bagi hasil. Faktor
ketiga adalah tingkat bunga yang mempengaruhi tingkat imbalan/fee/bonus/bagi hasil sebagai konsekuensi
supaya tidak kehilangan nasabah. Dan faktor keempat adalah secondary market berprinsip syariah sebagai sumber pendapatan
alternatif bank syariah yang juga mempengaruhi nilai imba an/fee/bonus/bagi hasil.[9]
Krisis keuangan menjadikan tingkat pengembalian pembiayaan
meningkat. Tingkat kredit macet bank syariah turun di tahun 2008 dibanding
tahun sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa krisis keuangan tidak berdampak
pada kemampuan pengusaha untuk membayarkan kewajibannya di bank syariah. Hal
ini disebabkan tingkat margin pada pembiayaan bank syairah tidak berubah selama
krisis berlangsung, berbeda dengan bunga yang bisa berubah setiap saat.
Meningkatnya tingkat bunga tidak disertai dengan tingkat margin menjadikan
tingkat NPL bank syairah menurun di akhir tahun 2008. Di samping itu
rata-rata NPL bank syariah masih di
bawah 5%, artinya bank syariah mampu mengatasi kesulitan likuiditas dibanding
dengan bank konvensional. [10]
Kondisi bank syariah dalam krisis keuangan global yang ditunjukan
dalam perkembangan dari tahun 2005 sampai 2009 menunjukkan adanya kenaikan pada
tingkat imbalan/fee/bonus/bagi hasil
di akhir tahun 2008. Seiring dengan kenaikan tingkat imbalan/fee/bonus/bagi hasil, tingkat penyaluran
pembiayaan semakin tinggi namun masih dalam batas yang aman. Sementara itu,
krisis keuangan membuat bank konvensional meningkatkan tingkat bunga guna
mengurangi jumlah uang beredar. Namun tingkat pengembalian pinjaman pada bank
konvensional yang terlihat dari NPL menunjukkan bahwa bank konvensional kurang
berhati-hati dalam menyalurkan pinjaman. Tingkat NPL bank konvensional melebihi
batas 5 % sebagai batas aman.
Bank syariah yang mengunakan sistem jual beli dan bagi hasil
menunjukkan kondisi yang berbeda dengan bank konvensional yang mengunakan
bunga. Dampak krisis keuangan yang menyebabkan kenaikan tingkat bunga
mempengaruhi likuiditas bank konvensional. Sementara itu, tingkat margin dan
bagi hasil bank syariah tidak terpengaruh langsung dengan adanya kenaikan BI rate karena tidak akan berubah selama
waktu kontrak belum selesai dan untuk mengubahnya harus melalui kontrak baru
yang disepakati kedua belah pihak. Krisis
keuangan mempengaruhi kenaikan tingkat bunga simpanan dan pinjaman di bank
konvensional dan bank syariah. Tingkat rata-rata tingkat bunga bank
konvensional lebih tinggi dibanding dengan tingkat margin di bank syariah.
Sementara itu kinerja keuangan kedua bank ini berbeda. Krisis keuangan 2008
menjadikan tingkat pendapatan yang diperoleh berkurang. Secara umum kenaikan
pendapatan bank syairah lebih tinggi dibandingkan dengan bank konvensional.
Sebaliknya, nilai pendapatan dibandingkan aset menunjukkan bank konvensional
lebih tinggi.[11]
Tingkat kemampuan nasabah membayar kewajiban yang diperlihat dari
NPF dalam kondisi krisis menunjukkan penurunan di bank syariah, artinya tingkat
resiko pinjaman/pembiayaan bermasalah di bank syariah menurun di saat krisis
keuangan. Di saat yang sama jumlah FDR
bank syariah meningkat. Hal ini menindikasikan bahwa di saat krisis pembiayaan
bank syariah lebih murah dibandingkan dengan bank konvensional. Secara umum
bisa disimpulkan bahwa sistem perbankan syariah lebih stabil dibandingkan
dengan bank konvensional dalam menghadapi krisis keuangan global. Sistem
keuangan syariah yang tidak mengenal bunga menjadikan bank syariah mampu
bertahan dari fluktuasi tingkat bunga yang disebabkan oleh turunnya nilai
rupiah yang disebabkan langkanya dolar di pasar. Selain itu, kinerja keuangan
bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional menunjukkan kondisi keuangan
yang konsisten dan efisien. [12]
Tantangan yang
dihadapi oleh Perbankan Syariah
1.
Pengembangan kelembagaan. Sampai saat ini,
kelembagaan perbankan syari’ah belum sepenuhnya mapan. Beberapa hal masih perlu
dibenahi, terutama dalam manajemen, tugas dan wewenang, peraturan, dan struktur
keorganisasian. Hubungan antara bank konvensional dengan unit syari’ahnya
(subsystem) perlu diperjelas, agar sinergis.
2.
Sosialisasi dan promosi. Di lapangan, cukup banyak
masyarakat yang belum memahami secara utuh ‘sosok’ bank syariah.
3.
Lemahnya
pengawasan pasar dan buruknya tata kelola yang mengakibatkan perbankan syariah
mengalami peningkatan berbagai bentuk penyimpangan operasional berupa internal
fraud dan terjadinya moral hazard terkait dengan tingginya pembiayaan
bermasalah. Kondisi tersebut dapat dilihat pada laporan tahunan dan laporan
penerapan tata kelola perusahaan, perbankan syariah mulai banyak menghadapi
permasalahan hukum terkait internal fraud dan permasalahan operasional serta
kurangnya keterbukaan dan lemahnya pengawasan pasar bahkan lemah dalam hal
pengawasan tata kelola.
4.
Perluasan jaringan kantor. Indonesia memiliki
wilayah yang amat luas kantor syariah yangberoperasi hingga ke pelosok masih
kurang.
5.
Peningkatan modal. bank syariah perlu menambah
modalnya, sehingga risktaking capacity-nya meningkat. Besar kecilnya kemampuan
pembiayaan bankbank syariah, amat tergantung pada kemampuan modalnya. Perlu
juga nampaknya mendesak pemerintah untuk menempatkan dana besar pada bank
syariah.
6.
Peningkatan pelayanan Perbankan syariah perlu terus
meningkatkan kualitas pelayanannya. Prinsip pelayanan yang ramah, mudah, cepat
dan murah harus menjadi trade mark bank syariah. Ramah dalam melayani, mudah
dan cepat dalam proses, serta murah dalam biaya (administrasi). Begitu pula
upaya mempermudah akses informasi dan pengambilan uang atau tabungan
harusditingkatkan. Pemanfaatan online internet dan ketersedian fasilitas ATM di
berbagai lokasi strategis dan mudah terjangkau,
7.
Dukungan pemerintah belum sepenuh mendukung keberadaan perbankan syariah,
8.
Masih ada masyarakat yang memandang dengan senyum
sinis. Terjadi mis-persepsi, seolah bank syariah itu eklusif (untuk umat
Islam), sistem bagi hasil kurang menguntungkan dan susah prosesnya.[13]
Tata Kelola dan mengembangkan system perbankan syariah
yang komprehensif
Tata kelola
perusahaan pada bank syariah telah banyak mendapat perhatian dari praktisi
pasar dan peneliti, serta menjadi lebih menarik lagi setelah terjadinya krisis
keuangan global tahun 2007-2008. Banyak studi memerlihatkan bahwa Islamic banks
lebih tahan menghadapi pengaruh negatif dari krisis keuangan tahun 2007.
Faktanya pada saat krisis, bank syariah lebih mendapatkan keuntungan, risiko
lebih kecil dan memiliki kelebihan likuiditas yang lebih baik dari pada bank
konvensional.[14]
Penerapan
sistem tata kelola perusahaan yang baik menjadi sangat penting bagi industri
perbankan untuk mengantisipasi semakin kompleksnya permasalahan bisnis di era
digital atau yang dikenal dengan financial technology (fintech). menyatakan,
bahwa memasuki abad ke-21 pedoman dan prinsip implementasi atau praktik yang
sehat (best practices) dalam bidang corporate governance akan menjadi lokomotif
perkembangan usaha korporasi. Kelola perusahaan berdasarkan prinsip Syariah
yang kuat diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan dan keyakinan dari pemangku
kepentingan bank Syariah. Kepercayaan dan keyakinan dari pemangku kepentingan
akan berdampak langsung kepada stabilitas dan kapasitas Lembaga Keuangan
syariah (LKS) sebagai perantara keuangan.
Meningkatnya
persaingan membuat perbankan harus menggali dan mengoptimalkan seluruh sumber
daya yang dimiliki untuk menjamin keberlangsungan dan keberhasilan usaha. Selanjutnya
bahwa bagi usaha yang menghadapi keterbatasan sumber daya yang bersifat fisik, intellectual
capital (IC) menjadi hal yang sangat penting. Hal ini berarti perbankan
syariah yang memiliki modal dalam bentuk finansial dan aset yang sifatnya
terbatas, maka bank syariah harus mampu mencari sumber modal lainnya untuk
meningkatkan nilai perusahaan bank syariah.[15]
Seperti
diketahui bahwa saat ini industri perbankan syariah mengalami keterbatasan
sumber daya fisik berupa modal dana, infrastruktur dan teknologi. Dengan
keterbatasan tersebut, industri perbankan syariah harus mampu meningkatkan
kompetensi dan inovasi, untuk selanjutnya mengoptimalkan sumber daya non fisik
lainnya dalam upaya mempercepat pertumbuhan, dan mengembangkan produk serta
meningkatkan layanan yang baik kepada nasabah. Namun, pengelolaan IC di
Indonesia ternyata belum menjadi perhatian yang penting. Hal tersebut tercermin
dari pengamatan yang dilakukan terhadap laporan tahunan perbankan sepuluh tahun
terakhir, tidak satu bank pun (Bank Konvensional dan Bank Syariah) yang
mencantumkan kata kapital intelektual atau pun intellectual capital pada
laporan tahunannya. Kata-kata yang muncul adalah human capital, SDM (Sumber
Daya Manusia), dan human resources. Kondisi ini menggambarkan bahwa kapital
intelektual belum dikenal pada industri perbankan.
Pengelolaan
perbankan syariah seharusnya lebih memperhatikan pengelolaan kapital
intelektual, khususnya mengenai pengelolaan dan pengembangan sumber daya
manusia (SDM). terjadi ketimpangan antara suplai tenaga kerja dan kebutuhan
tenaga kerja perbankan syariah. Kebutuhan SDM syariah pertahun mencapai 11.000
personil, sedangkan suplai SDM syariah hanya 3.750 orang per tahun.
mengemukakan bahwa human capital yang diwakili oleh pegawai tidak hanya
memiliki elemen tradisional yaitu knowledge, skill dan attitude (KSA), tetapi
harus juga memiliki visi kepemimpinan, keterbukaan pandangan dan kemampuan
membuat model bisnis yang sukses.[16]
Perbankan
syariah akan sulit bersaing dengan perbankan lokal maupun regional yang terus
cepat berubah tanpa memiliki sistem tata kelola perusahaan yang baik. Oleh
karena itu kompetensi utama dari perusahaan di era knowledgebased economy,
selain harus mengimplementasikan tata kelola yang baik, perusahaan harus mampu
mengelola IC yang mereka miliki banyak negara telah mengembangkan kerangka
kerja tata kelola syariah yang komprehensif untuk menanggapi kebutuhan Lembaga
Keuangan syariah (LKS). Hal ini menunjukkan bahwa karena tidak adanya konsep
kerangka kerja tata kelola yang sesuai, maka setiap negara membuat aturan
mengenai kerangka kerja tata kelola syariah sesuai dengan kebutuhan dan
pengalaman masing-masing negara.
Model tata
kelola perusahaan berbasis pengelolaan kapital intelektual (IC) yang sesuai
dengan karakteristik dan keunikan bank syariah akan memberi manfaat besar bagi
perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Model tata kelola ini sesuai
dengan situasi dan kondisi pasar industri keuangan syariah yang sangat
kompetitif, selanjutnya dapat digunakan untuk mengembangkan pangsa pasar
melalui peningkatan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainable
competitive advantages). hal ini memberi kontribusi dan manfaat kepada seluruh
stakeholders industri perbankan syariah, antara lain:[17]
a.
Regulator
Model tata
kelola berbasis kapital intelektual yang dibangun dapat digunakan oleh Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang kewenangan untuk
menyempurnakan model penilaian penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi
bank syariah dan bank konvensional. Model tata kelola perbankan syariah di
Indonesia harus mengacu kepada standar praktik tata kelola yang berlaku secara
Internasional. Model yang dibangun sekaligus akan menyelesaikan permasalahan
pengembangan SDM melalui pengembangan IC. Pengembangan tata kelola berbasis IC
membuat pelaksanaan tata kelola di bank syariah menjadi komprehensif sehingga
yang dapat meningkatkan kepercayaan pasar kepada perbankan syariah.
b.
Industri
perbankan syariah
Model tata
kelola perusahaan yang baik berbasis pengelolaan IC sangat relevan dengan
pengelolaan bisnis pada kondisi saat ini, khususnya untuk membuat strategi yang
tepat dalam menghadapi persaingan di pasar global. Sudah terbukti, bahwa IC
sangat penting dalam dunia bisnis karena komponen-komponen IC secara positif
berpengaruh terhadap kinerja bisnis, studi yang dilakukan di seluruh dunia juga
menunjukkan bahwa IC memberi pengaruh positif terhadap kinerja keuangan.
c.
Praktisi
dan pelaku di industri perbankan syariah
Pemimpin akan mendapat manfaat karena
organisasi keuangan perusahaan akan menjadi kuat, dapat meningkatkan kinerja
bisnis, dapat menguatkan loyalitas nasabah dan memperbaiki hubungan sosial
kemasyarakatan. Studi ini dapat dimanfaatkan oleh pemimpin perusahaan seperti
Direksi, Komisaris dan pejabat eksekutif perbankan syariah untuk membuat
strategi bisnis yang sejalan dengan pengembangan kinerja bisnis dan daya saing
perbankan syariah.
d.
Praktisi
SDM Di era knowledge-base economy
peran praktisi SDM menjadi sangat penting.
Hasil studi ini dapat digunakan oleh praktisi SDM untuk lebih tepat dalam
memetakan permasalahan terkait dengan komponen-komponen IC. Hasil pemetaan
dapat digunakan untuk menetapkan strategi pengembangan human capital yang
sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan.
Pengembangan IC dengan menggunakan sistem tata kelola yang baik akan
meningkatkan kualitas SDM perbankan syariah yang pada akhirnya akan
meningkatkan nilai bank syariah.
Peluang perbankan
syariah
Dibalik
kelemahan ,sesungguhnya ada sejumlah kekuatan yang bila digarap secara baik
sebagaimana mestinya , akan berpotensi berubah menjadi peluang yang
menjanjikan. Diantaranya :[18]
1.
Keunggulan
konsep bank/lembaga keuangan syariah.
yaitu adanya produk-produk yang tidak
tersedia di bank konvensional. Umumnya bank syariah menawarkan sejumlah
layanan khusus, seperti tabungan haji dan umrah, wakaf, investasi syariah,
pembiayaan, deposito syariah, dan lain sebagainya.
2.
Jumlah
penduduk muslim di Indonesia yang mayoritas.
3.
Dukungan
pemerintah dan ketentuan hukum yang sekarang berlaku.
peraturan perundangan yang berlaku dan
mengatur mengenai bank syariah adalah UU No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
Penutup
Jadi dah hal dapat disimpulkan Industri perbankan syariah di
Indonesia akan menghadapi tantangan sangat besar terkait dengan cepatnya
perubahan serta dinamika pasar regional dan global. Keterbatasan sumber daya
dan lemahnya penerapan sistem tata kelola yang baik merupakan kendala utama
perbankan syariah untuk meningkatkan daya saing di pasar global. Hal ini
sejalan dengan rekomendasi Bappenas (2015) yang menyatakan bahwa selain masalah
permodalan, hambatan utama lambatnya perkembangan perbankan syariah adalah
kurangnya dukungan pemerintah terhadap industri keuangan syariah, rendahnya
kualitas dan kuantitas SDM, serta isu kapasitas di dalam industri keuangan
syariah dalam hal variasi produk, persaingan harga, sistem IT, tingkat
pelayanan dan distribusi (Bappenas 2015). Menghadapi situasi dan kondisi pasar yang
dinamis, industri perbankan syariah di Indonesia harus mengoptimalkan seluruh
sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi persaingan regional dan global.
Emprical Issue
Berdasarkan
penelitian H.A Khumaidi Ja’far Industri perbankan syariah di Indonesia akan
menghadapi tantangan sangat besar terkait dengan cepatnya perubahan serta
dinamika pasar regional dan global. Keterbatasan sumber daya dan lemahnya
penerapan sistem tata kelola yang baik merupakan kendala utama perbankan
syariah untuk meningkatkan daya saing di pasar global. Hal ini sejalan dengan
rekomendasi Bappenas (2015) yang menyatakan bahwa selain masalah permodalan,
hambatan utama lambatnya perkembangan perbankan syariah adalah kurangnya
dukungan pemerintah terhadap industri keuangan syariah, rendahnya kualitas dan
kuantitas SDM, serta isu kapasitas di dalam industri keuangan syariah dalam hal
variasi produk, persaingan harga, sistem IT, tingkat pelayanan dan distribusi
(Bappenas 2015).
Menghadapi
situasi dan kondisi pasar yang dinamis, industri perbankan syariah di Indonesia
harus mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi
persaingan regional dan global. Penerapan sistem tata kelola perusahaan yang
baik menjadi sangat penting bagi industri perbankan untuk mengantisipasi
semakin kompleksnya permasalahan bisnis di era digital atau yang dikenal dengan
financial technology (fintech).
Maka Laju
pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset
lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS,
tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha
perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per
tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar,
meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang
memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal
jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu,
perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272
juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini
hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional.
Sedangkan di
Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen
dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan
perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi
kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan
rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya
investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan
perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan
syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau
sukuk yang dipersiapkan pemerintah. Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti
Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka
unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga
tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank
syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp
500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan
melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan
global.[19]
REFERENSI
[1] A Veno and S Syamsudin, ‘Analisis Trend Kinerja
Keuangan Perbankan Syariah Tahun 2015 Sampai Dengan 2017’, BISNIS: Jurnal Bisnis Dan ekonomi islam (journal.iainkudus.ac.id,
2016)
<http://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/download/1694/1506>.
[2] I
P Nuralam, Manajemen keuangan Perbankan
Syariah Indonesia (books.google.com,2018)<https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=IxRkDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA2&dq=perbankan+enurut+al+%22qur+an%22+dan+hadist&ots=XjqnZl6RTt&sig=NuYqXkutGj3SicWDA3XHRvmclYQ>.
[3] Alan
Greenspan menyalahkan sekuritisasi ini, yang mengakibatkan krisis keuangan
global bukan karena disebabkan utang semata-mata. Lihat Alan Greenspan (2008), Greenspan Sees Signs of Credit Crising
Easing, Stock & Economy-MSNBC. Disamping itu moral hazard juga menjadi sebab terjadinya krisis lihat Holden
Lewis (2007), Moral Hazard Help Shape
Mortgage Mess, di www.bankrate com.
[4] Heri Sudarsono, Krisis Keuangan Global terhadap Perbankan di
Indonesia: Perbandingan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah Volume III, No. 1, Juli 2009 jurnal ekonomi islam https://media.neliti.com/media/publications/23125-ID- Krisis
Keuangan Global terhadap Perbankan di Indonesia.pdf
hlm 34-36
[5] Miskhin, Frederic (1997), “The Causes and Propagation of
Financial Instability: Lessons for Policymakers”, dalam Federal Reserve
Bank of Kansas City (1937), Maintaining
Financial Stability in a Global Economy, Proceedings of a Symposium
Sponsored by the FRB Kansas City, Jackson Hole, Wyoming, August 28-30,
pp.55-96.
[6] S Chapra, Umer (1985), Towards a Just Monetary System: A Discussion
of Money, Banking, and Monetary Policy in the Light of Islamic Teachings,
London: Islamic Foundation.
[7] Ahyani, H, ‘Dialog Pemikiran Tentang Norma Riba, Bunga Bank, Dan Bagi Hasil Di Era Revolusi Industri 4.0’, EKSISBANK (Ekonomi Syariah 2020 <https://www.journal.sties-purwakarta.ac.id/index.php/EKSISBANK/article/view/140>
[9] Muhammad Eka Rahman, Uji Ketahanan Krisis Terhadap Perbankan Syariah Di Indonesia Dengan Ukuran Ibc (Indeks Banking Crisis) Tahun Periode 2006-2012 Jebis Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2015
[10] Siddiqi, M.N. 2008. The Current Financial Crisis and Islamic Economic. IIUM Journal of Economics and Management 16, no.2: 111-138.
[11]
Ahmed, Adel. 2010. Global Financial Crisis: an
Islamic Finance Perspective. International Journal of Islamic and Middle
Eastern Finance and Manajemen, Vol. 3 No.4, 2010 pp.306-320
[12] Novita Anjarsari, perspektif Keuangan Islam Menghadapi Krisis Keuangan Global: Tinjauan Konseptual (INDEKS BANKING CRISIS) TAHUN PERIODE 2006-2012 JEBIS Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2015
[13] Bank Indonesia. 2012. Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta
[14] Bagus
Indratno, Peluang dan tantangan Bank Syariah di Indonesia MAJALAH ILMIAH EKONOMIKA VOLUME 13 NOMOR 2, Mei 2010 : 47 – 74 https://media.neliti.com/media/publications/23125-ID-peluang-dan-tantangan-perbankan-syariah-di-indonesia.pdf
[15] Rachmad Nor Firman Laju
Percepatan Perkembangan Perbankan Syariah Melalui Penerapan Tata Kelola Syariah Journal
Sharia Economic hlm 88-92 Http://Journal.Iaialhikmahtuban.Ac.Id/Index.Php/JSE/Article/View/75
[16] Arama, Sistem tata kelola syari’ah yang komprehensif Jurnal Bimas Islam, 2015, Vol. 8 No. 1 (2015) hlm 89-90 Jurnal Bimas Islamjurnalbimasislam.kemenag.go.id
[17] S Priyono, Konsep
Dan Implementasi Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Pada Perbankan Syariah Di
Indonesia Vol 3, No 2 (2019) hlm
56-59 Http://Jurnal.Staialhidayahbogor.Ac.Id/Index.Php/Ad/Issue/View/54
[18] Dp Awwallin Peluang, Tantangan, Dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (Mea) 2015 Vol 3 No 2 (2015): Akunesa (Januari 2015 hlm 34-36)
[19]
Nr Jannah, Peluang Perbankan Syariah Dalam
Perekonomian Di Indonesia Vol 1 No 2 (2020):
Journal Of Islamic Banking HLM 99 -100 Http://Journal.Iaialhikmahtuban.Ac.Id/Index.Php/Jib/Article/View/148