Jumat, 02 Desember 2022

PERSOALAN, TANTANGAN DAN PELUANG PERBANKAN SYARIAH

 PERSOALAN, TANTANGAN DAN PELUANG PERBANKAN SYARIAH

PENDAHULUAN

Perbankan syariah pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1991 lahir didasarkan  banyaknya permintaan pada  lembaga keuangan yang berbasis syariah. pelopor pendirian bank syariah pertama kali di Indonesia adalah Bank Muamalat. Pendirian Bank Syariah di Indonesia diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada krisis moneter tahun 1998 bank syariah mampu mengembangkan sayapnya dengan sistem bagi hasilnya sehingga tidak goyah akibat terjadinya kenaikan suku bunga secara besar-besaran pada krisis moneter tahun 1998.[1]

Kebutuhan untuk melakukan perubahan sistem keuangan perbankan menjadi penting, mengingat sistem perbankan dalam kehidupan ekonomi modern memegang peranan yang cukup dominan, khususnya bagi negara- negara yang berpenduduk muslim. Sehingga dibutuhkan lah pengaplikasikan lembaga perbankan syariah yang sesuai dengan kaidah syariat. Perbankan Syariah juga dibahas dalam Al-Quran dan sunnah sehingga dapat berjalan sesuai koridor syariah.[2]

PEMBAHASAN

Perbankan Islam dalam krisis keuangan global

Sesungguhnya turunnya nilai rupiah ini bisa meningkatkan nilai ekspor, krisis keuangan menyebabkan turunnya permintaan komoditas dari luar negeri. Turunnya ekspor mengurangi pendapatan negara sehingga jika tidak diimbangi dengan turunnya pengeluaran dollar melalui penurunan tingkat impor akan menyebabkan defisit perdagangan. Defisit perdagangan mempersulit modal masuk seiring dengan keringnya likuiditas pasar keuangan global. Selain itu, kenaikan impor di saat pasar ekspor stagnan akan menekan kenaikan cadangan devisa dan berarti akan memunculkan ekspektasi gejolak depresiasi rupiah. Juga, kemerosotan akan mengacaukan dan menurunkan produksi dalam negeri yang juga berakibat pengurangan pekerja atau peningkatan pengangguran. 

Untuk mengatasi dampak krisis ini, BI menempuh beberapa langkah, yaitu memperkuat likuiditas sektor perbankan, menjaga pertumbuhan  pada tingkat yang sesuai untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan terkait neraca pembayaran. Kebijakan yang dijalankan adalah memperkuat sektor perbankan untuk mengantisipasi dampak pengeringan likuiditas global, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Kebijakan lain yang ditempuh Bank Indonesia adalah menyederhanakan aturan Giro Wajib Minimum (GWM) untuk menambah kepercayaan diri bank terhadap kondisi likuiditas perbankan yang melemah akibat krisis keuangan global. Giro Wajib Minimum (statutory reserve) adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari Dana Pihak Ketiga (DPK) bank. Selain itu, juga membuka ruang untuk repo Surat Utang Negara (SUN) atau SBI yang diperpanjang masa berlakunya hingga tiga bulan. [3]

Krisis keuangan ini menyebabkan dana yang direpatriasi berjumlah besar sehingga menimbulkan penjualan saham dan surat berharga utang dalam jumlah yang besar. Keadaan ini menjadikan harga sekuritas saham dan surat berharga utang akan turun sehingga indeks harga saham turun tajam. Turunnya kepercayaan terhadap pasar domestik menyebabkan permintaan terhadap dolar naik signifikan, yang berarti mengakibatkan nilai dolar terhadap rupiah naik. Depresiasi rupiah tidak saja disebabkan langsung oleh penarikan dana tersebut di atas, tetapi juga berpotensi diperparah karena lebih besar dari tingkat depresiasi mata uang di luar dolar. Depresiasi hampir semua mata uang di luar dolar karena dolar ditarik kembali untuk memback-up likuditas perusahaan AS. Keadaan ini menjadikan dolar semakin mahal karena dolar semakin langka dan permintaan dolar pun akhirnya  meningkat.[4]

Gejolak kurs akan berdampak pada kenaikan harga atau inflasi menjadi tinggi, serta sebagai dasar rasional terus timbulnya ekspektasi inflasi tinggi (the expectation of high inflation) yang pada gilirannya akan direalisasikan pada kenaikan harga atau inflasi terus meninggi dan timbulnya gejolak kurs. Keadaan ini menimbulkan keinginan melakukan currency substitution dari rupiah ke dolar. Apalagi kecenderungan ini dikaitkan dengan ekspektasi inflasi di Indonesia yang cukup tinggi dalam dua angka (double digits).  Dalam kondisi seperti ini, semua kemungkinan ekonomi dapat berpotensi mengakibatkan gejolak rupiah terhadap dolar.  Gejolak kurs dan ekpektasi gejolak depresiasi rupiah yang besar dapat menyebabkan dana masyarakat berpindah atau lari ke bank yang berkualitas tinggi dan bank asing di dalam negeri dan di luar negeri (currency substitution). Gejolak itu juga akan mengakibatkan debitur bank mengalami kesulitan usaha, dengan konsekuensi selanjutnya tidak mampu bayar pokok utang dan bunga ke bank. Akibatnya, bank  mengalami kesulitan likuiditas dan menyebabkan meningkatnya cost of fund sehingga bank tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada Dana Pihak Ketiga (DPK).[5]

Pengaruh Krisis pada Bank Syariah

Bank syariah secara langsung. Sistem jual beli (bai’) di bank syariah, dimana pembayaran margin didasarkan fixed rate dimana ketetapan didasarkan kontrak tidak bisa berubah sewaktu-waktu seperti hanya dengan bunga. Namun bagi produk bagi hasil dimungkinkan krisis keuangan ini akan mempengaruhi return bank syariah karena krisis keuangaan akan mempengaruhi bagi hasil pegusaha untuk mendapatkan laba optimal.kenaikan tingkat bunga akan menurunkan minat masyarakat yang menyimpan dana di bank syariah karena tingkat marginnya lebih rendah di banding dengan tingkat bunga simpanan bank konvensional. Namun, bank syariah akan lebih menguntungkan bagi investor dikarenakan margin yang dibebankan pada investor bank syariah lebih rendah dibanding dengan bank konvensional.[6]

Dalam menjaga likuditas, tingkat bunga masih menjadi benchmark bagi bank syariah dalam penentuan tingkat margin dan nisbah bagi hasil bank syariah. Dengan tingkat margin pembiayaan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat fee/bagi hasil pada tabungan dan deposito, membuat pembiayaan bank syariah lebih menarik bagi investor dibanding bank konvensional. Keadaan ini akan menyebabkan meningkatnya dana yang keluar untuk pembiayan dari dana pihak ketiga (DPK) yang masuk sehingga konsekuensinya financing deposit rasio (FDR) bank syariah meningkat. Kondisi berbeda ada pada pihak penabung yang akan lari ke bank konvensional karena akan menikmati keuntungan bunga lebih tinggi dibanding dengan bank syariah. Meningkatnya dana keluar akan meningkatkan resiko likuditas bank syariah. Untuk mengatasi keadaan ini, bank syariah perlu meningkatkan rate bonus/fee/bagi hasil untuk giro, tabungan, dan deposito.

Sebagai bank syariah yang tidak mengunakan bunga, tingkat imbalan/margin/bagi hasil/fee bank syariah lebih rendah dibanding dengan bank konvensional. Mayoritas struktur pembiayaan bank syariah yang mengunakan skim murabahah, dimana tingkat margin ditetapkan di saat akad dilakukan, pada tahun 1998 marginnya adalah 14.92% atau naik dari tahun 1997 yang nilainya sebesar 14.66%. Di lain pihak, tingkat ekuivalen bagi hasil pada mudharabah meningkat di akhir tahun 2008 menjadi 19.38% dari tahun sebelumnya, 16.93%. Kenaikan margin dan bagi hasil pada produk bank syariah ini merupakan usaha untuk menghindari persoalan likuiditas diakibatkan dari krisis keuangan global yang memicu naiknya tingkat bunga perbankan nasional.[7]

Tingkat margin dan bagi hasil pembiayaan bank syariah relatif lebih tinggi dibanding dengan rata-rata tingkat bunga kredit bank konvensional. Hal sama terjadi pada tingkat bonus/bagi hasil pada tabungan dan deposito bank syariah yang meningkat walaupun kenaikan pada tahun 2009 masih dibawah tingkat bunga tabungan dan deposito bank konvensional. Rendahnya tingkat bagi hasil bank syariah ini menyebabkan turunnya minat nasabah untuk menyimpan dananya pada bank syariah. Sementara itu, pada saat yang sama tingkat margin dan bagi hasil pada pembiayaan bank syariah lebih tinggi daripada bank konvensional sehingga menyebabkan nasabah cenderung lebih tertarik untuk mengajukan pinjaman ke bank konvensional.[8]

Tingginya tingkat margin dan bagi hasil pada bank syariah lebih dikarenakan adanya sejumlah faktor. Faktor yang pertama adalah sebagai lembaga keuangan yang keberadaannya relatif baru membutuhkan biaya (overhead cost) yang cukup tinggi. Biaya-biaya itu dikeluarkan untuk membangun kantor, fasilitas kantor, penataan sistem, dan  pelatihan tenaga kerja. Faktor kedua adalah tingginya inflasi yang menjadi faktor dalam menentukan tingkat imbalan/fee/bonus/ bagi hasil. Faktor ketiga adalah tingkat bunga yang mempengaruhi tingkat imbalan/fee/bonus/bagi hasil sebagai konsekuensi supaya tidak kehilangan nasabah. Dan faktor keempat adalah secondary market berprinsip syariah sebagai sumber pendapatan alternatif bank syariah yang juga mempengaruhi nilai imba an/fee/bonus/bagi hasil.[9]

Krisis keuangan menjadikan tingkat pengembalian pembiayaan meningkat. Tingkat kredit macet bank syariah turun di tahun 2008 dibanding tahun sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa krisis keuangan tidak berdampak pada kemampuan pengusaha untuk membayarkan kewajibannya di bank syariah. Hal ini disebabkan tingkat margin pada pembiayaan bank syairah tidak berubah selama krisis berlangsung, berbeda dengan bunga yang bisa berubah setiap saat. Meningkatnya tingkat bunga tidak disertai dengan tingkat margin menjadikan tingkat NPL bank syairah menurun di akhir tahun 2008. Di samping itu rata-rata  NPL bank syariah masih di bawah 5%, artinya bank syariah mampu mengatasi kesulitan likuiditas dibanding dengan bank konvensional. [10]

Kondisi bank syariah dalam krisis keuangan global yang ditunjukan dalam perkembangan dari tahun 2005 sampai 2009 menunjukkan adanya kenaikan pada tingkat imbalan/fee/bonus/bagi hasil di akhir tahun 2008. Seiring dengan kenaikan tingkat imbalan/fee/bonus/bagi hasil, tingkat penyaluran pembiayaan semakin tinggi namun masih dalam batas yang aman. Sementara itu, krisis keuangan membuat bank konvensional meningkatkan tingkat bunga guna mengurangi jumlah uang beredar. Namun tingkat pengembalian pinjaman pada bank konvensional yang terlihat dari NPL menunjukkan bahwa bank konvensional kurang berhati-hati dalam menyalurkan pinjaman. Tingkat NPL bank konvensional melebihi batas 5 % sebagai batas aman.

Bank syariah yang mengunakan sistem jual beli dan bagi hasil menunjukkan kondisi yang berbeda dengan bank konvensional yang mengunakan bunga. Dampak krisis keuangan yang menyebabkan kenaikan tingkat bunga mempengaruhi likuiditas bank konvensional. Sementara itu, tingkat margin dan bagi hasil bank syariah tidak terpengaruh langsung dengan adanya kenaikan BI rate karena tidak akan berubah selama waktu kontrak belum selesai dan untuk mengubahnya harus melalui kontrak baru yang disepakati kedua belah pihak.  Krisis keuangan mempengaruhi kenaikan tingkat bunga simpanan dan pinjaman di bank konvensional dan bank syariah. Tingkat rata-rata tingkat bunga bank konvensional lebih tinggi dibanding dengan tingkat margin di bank syariah. Sementara itu kinerja keuangan kedua bank ini berbeda. Krisis keuangan 2008 menjadikan tingkat pendapatan yang diperoleh berkurang. Secara umum kenaikan pendapatan bank syairah lebih tinggi dibandingkan dengan bank konvensional. Sebaliknya, nilai pendapatan dibandingkan aset menunjukkan bank konvensional lebih tinggi.[11]

Tingkat kemampuan nasabah membayar kewajiban yang diperlihat dari NPF dalam kondisi krisis menunjukkan penurunan di bank syariah, artinya tingkat resiko pinjaman/pembiayaan bermasalah di bank syariah menurun di saat krisis keuangan.  Di saat yang sama jumlah FDR bank syariah meningkat. Hal ini menindikasikan bahwa di saat krisis pembiayaan bank syariah lebih murah dibandingkan dengan bank konvensional. Secara umum bisa disimpulkan bahwa sistem perbankan syariah lebih stabil dibandingkan dengan bank konvensional dalam menghadapi krisis keuangan global. Sistem keuangan syariah yang tidak mengenal bunga menjadikan bank syariah mampu bertahan dari fluktuasi tingkat bunga yang disebabkan oleh turunnya nilai rupiah yang disebabkan langkanya dolar di pasar. Selain itu, kinerja keuangan bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional menunjukkan kondisi keuangan yang konsisten dan efisien. [12]

Tantangan yang dihadapi oleh Perbankan Syariah

1.      Pengembangan kelembagaan. Sampai saat ini, kelembagaan perbankan syari’ah belum sepenuhnya mapan. Beberapa hal masih perlu dibenahi, terutama dalam manajemen, tugas dan wewenang, peraturan, dan struktur keorganisasian. Hubungan antara bank konvensional dengan unit syari’ahnya (subsystem) perlu diperjelas, agar sinergis.

2.      Sosialisasi dan promosi. Di lapangan, cukup banyak masyarakat yang belum memahami secara utuh ‘sosok’ bank syariah.

3.      Lemahnya pengawasan pasar dan buruknya tata kelola yang mengakibatkan perbankan syariah mengalami peningkatan berbagai bentuk penyimpangan operasional berupa internal fraud dan terjadinya moral hazard terkait dengan tingginya pembiayaan bermasalah. Kondisi tersebut dapat dilihat pada laporan tahunan dan laporan penerapan tata kelola perusahaan, perbankan syariah mulai banyak menghadapi permasalahan hukum terkait internal fraud dan permasalahan operasional serta kurangnya keterbukaan dan lemahnya pengawasan pasar bahkan lemah dalam hal pengawasan tata kelola.

4.      Perluasan jaringan kantor. Indonesia memiliki wilayah yang amat luas kantor syariah yangberoperasi hingga ke pelosok masih kurang.

5.      Peningkatan modal. bank syariah perlu menambah modalnya, sehingga risktaking capacity-nya meningkat. Besar kecilnya kemampuan pembiayaan bankbank syariah, amat tergantung pada kemampuan modalnya. Perlu juga nampaknya mendesak pemerintah untuk menempatkan dana besar pada bank syariah.

6.      Peningkatan pelayanan Perbankan syariah perlu terus meningkatkan kualitas pelayanannya. Prinsip pelayanan yang ramah, mudah, cepat dan murah harus menjadi trade mark bank syariah. Ramah dalam melayani, mudah dan cepat dalam proses, serta murah dalam biaya (administrasi). Begitu pula upaya mempermudah akses informasi dan pengambilan uang atau tabungan harusditingkatkan. Pemanfaatan online internet dan ketersedian fasilitas ATM di berbagai lokasi strategis dan mudah terjangkau,

7.      Dukungan pemerintah belum sepenuh  mendukung keberadaan perbankan syariah,

8.      Masih ada masyarakat yang memandang dengan senyum sinis. Terjadi mis-persepsi, seolah bank syariah itu eklusif (untuk umat Islam), sistem bagi hasil kurang menguntungkan dan susah prosesnya.[13]

            Tata Kelola dan mengembangkan system perbankan syariah yang komprehensif

Tata kelola perusahaan pada bank syariah telah banyak mendapat perhatian dari praktisi pasar dan peneliti, serta menjadi lebih menarik lagi setelah terjadinya krisis keuangan global tahun 2007-2008. Banyak studi memerlihatkan bahwa Islamic banks lebih tahan menghadapi pengaruh negatif dari krisis keuangan tahun 2007. Faktanya pada saat krisis, bank syariah lebih mendapatkan keuntungan, risiko lebih kecil dan memiliki kelebihan likuiditas yang lebih baik dari pada bank konvensional.[14]

Penerapan sistem tata kelola perusahaan yang baik menjadi sangat penting bagi industri perbankan untuk mengantisipasi semakin kompleksnya permasalahan bisnis di era digital atau yang dikenal dengan financial technology (fintech). menyatakan, bahwa memasuki abad ke-21 pedoman dan prinsip implementasi atau praktik yang sehat (best practices) dalam bidang corporate governance akan menjadi lokomotif perkembangan usaha korporasi. Kelola perusahaan berdasarkan prinsip Syariah yang kuat diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan dan keyakinan dari pemangku kepentingan bank Syariah. Kepercayaan dan keyakinan dari pemangku kepentingan akan berdampak langsung kepada stabilitas dan kapasitas Lembaga Keuangan syariah (LKS) sebagai perantara keuangan.

Meningkatnya persaingan membuat perbankan harus menggali dan mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk menjamin keberlangsungan dan keberhasilan usaha. Selanjutnya bahwa bagi usaha yang menghadapi keterbatasan sumber daya yang bersifat fisik, intellectual capital (IC) menjadi hal yang sangat penting. Hal ini berarti perbankan syariah yang memiliki modal dalam bentuk finansial dan aset yang sifatnya terbatas, maka bank syariah harus mampu mencari sumber modal lainnya untuk meningkatkan nilai perusahaan bank syariah.[15]

Seperti diketahui bahwa saat ini industri perbankan syariah mengalami keterbatasan sumber daya fisik berupa modal dana, infrastruktur dan teknologi. Dengan keterbatasan tersebut, industri perbankan syariah harus mampu meningkatkan kompetensi dan inovasi, untuk selanjutnya mengoptimalkan sumber daya non fisik lainnya dalam upaya mempercepat pertumbuhan, dan mengembangkan produk serta meningkatkan layanan yang baik kepada nasabah. Namun, pengelolaan IC di Indonesia ternyata belum menjadi perhatian yang penting. Hal tersebut tercermin dari pengamatan yang dilakukan terhadap laporan tahunan perbankan sepuluh tahun terakhir, tidak satu bank pun (Bank Konvensional dan Bank Syariah) yang mencantumkan kata kapital intelektual atau pun intellectual capital pada laporan tahunannya. Kata-kata yang muncul adalah human capital, SDM (Sumber Daya Manusia), dan human resources. Kondisi ini menggambarkan bahwa kapital intelektual belum dikenal pada industri perbankan.

Pengelolaan perbankan syariah seharusnya lebih memperhatikan pengelolaan kapital intelektual, khususnya mengenai pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). terjadi ketimpangan antara suplai tenaga kerja dan kebutuhan tenaga kerja perbankan syariah. Kebutuhan SDM syariah pertahun mencapai 11.000 personil, sedangkan suplai SDM syariah hanya 3.750 orang per tahun. mengemukakan bahwa human capital yang diwakili oleh pegawai tidak hanya memiliki elemen tradisional yaitu knowledge, skill dan attitude (KSA), tetapi harus juga memiliki visi kepemimpinan, keterbukaan pandangan dan kemampuan membuat model bisnis yang sukses.[16]

Perbankan syariah akan sulit bersaing dengan perbankan lokal maupun regional yang terus cepat berubah tanpa memiliki sistem tata kelola perusahaan yang baik. Oleh karena itu kompetensi utama dari perusahaan di era knowledgebased economy, selain harus mengimplementasikan tata kelola yang baik, perusahaan harus mampu mengelola IC yang mereka miliki banyak negara telah mengembangkan kerangka kerja tata kelola syariah yang komprehensif untuk menanggapi kebutuhan Lembaga Keuangan syariah (LKS). Hal ini menunjukkan bahwa karena tidak adanya konsep kerangka kerja tata kelola yang sesuai, maka setiap negara membuat aturan mengenai kerangka kerja tata kelola syariah sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman masing-masing negara.

Model tata kelola perusahaan berbasis pengelolaan kapital intelektual (IC) yang sesuai dengan karakteristik dan keunikan bank syariah akan memberi manfaat besar bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Model tata kelola ini sesuai dengan situasi dan kondisi pasar industri keuangan syariah yang sangat kompetitif, selanjutnya dapat digunakan untuk mengembangkan pangsa pasar melalui peningkatan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantages). hal ini memberi kontribusi dan manfaat kepada seluruh stakeholders industri perbankan syariah, antara lain:[17]

a.    Regulator

Model tata kelola berbasis kapital intelektual yang dibangun dapat digunakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang kewenangan untuk menyempurnakan model penilaian penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi bank syariah dan bank konvensional. Model tata kelola perbankan syariah di Indonesia harus mengacu kepada standar praktik tata kelola yang berlaku secara Internasional. Model yang dibangun sekaligus akan menyelesaikan permasalahan pengembangan SDM melalui pengembangan IC. Pengembangan tata kelola berbasis IC membuat pelaksanaan tata kelola di bank syariah menjadi komprehensif sehingga yang dapat meningkatkan kepercayaan pasar kepada perbankan syariah.

 

b.    Industri perbankan syariah

Model tata kelola perusahaan yang baik berbasis pengelolaan IC sangat relevan dengan pengelolaan bisnis pada kondisi saat ini, khususnya untuk membuat strategi yang tepat dalam menghadapi persaingan di pasar global. Sudah terbukti, bahwa IC sangat penting dalam dunia bisnis karena komponen-komponen IC secara positif berpengaruh terhadap kinerja bisnis, studi yang dilakukan di seluruh dunia juga menunjukkan bahwa IC memberi pengaruh positif terhadap kinerja keuangan.

c.    Praktisi dan pelaku di industri perbankan syariah

 Pemimpin akan mendapat manfaat karena organisasi keuangan perusahaan akan menjadi kuat, dapat meningkatkan kinerja bisnis, dapat menguatkan loyalitas nasabah dan memperbaiki hubungan sosial kemasyarakatan. Studi ini dapat dimanfaatkan oleh pemimpin perusahaan seperti Direksi, Komisaris dan pejabat eksekutif perbankan syariah untuk membuat strategi bisnis yang sejalan dengan pengembangan kinerja bisnis dan daya saing perbankan syariah.

d.   Praktisi SDM Di era knowledge-base economy

 peran praktisi SDM menjadi sangat penting. Hasil studi ini dapat digunakan oleh praktisi SDM untuk lebih tepat dalam memetakan permasalahan terkait dengan komponen-komponen IC. Hasil pemetaan dapat digunakan untuk menetapkan strategi pengembangan human capital yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Pengembangan IC dengan menggunakan sistem tata kelola yang baik akan meningkatkan kualitas SDM perbankan syariah yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai bank syariah.

Peluang perbankan syariah

Dibalik kelemahan ,sesungguhnya ada sejumlah kekuatan yang bila digarap secara baik sebagaimana mestinya , akan berpotensi berubah menjadi peluang yang menjanjikan. Diantaranya :[18]

1.      Keunggulan konsep bank/lembaga keuangan syariah.

yaitu adanya produk-produk yang tidak tersedia di bank konvensional. Umumnya bank syariah menawarkan sejumlah layanan khusus, seperti tabungan haji dan umrah, wakaf, investasi syariah, pembiayaan, deposito syariah, dan lain sebagainya.

2.      Jumlah penduduk muslim di Indonesia yang mayoritas.

3.      Dukungan pemerintah dan ketentuan hukum yang sekarang berlaku.

peraturan perundangan yang berlaku dan mengatur mengenai bank syariah adalah UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

 Penutup

Jadi dah hal dapat disimpulkan Industri perbankan syariah di Indonesia akan menghadapi tantangan sangat besar terkait dengan cepatnya perubahan serta dinamika pasar regional dan global. Keterbatasan sumber daya dan lemahnya penerapan sistem tata kelola yang baik merupakan kendala utama perbankan syariah untuk meningkatkan daya saing di pasar global. Hal ini sejalan dengan rekomendasi Bappenas (2015) yang menyatakan bahwa selain masalah permodalan, hambatan utama lambatnya perkembangan perbankan syariah adalah kurangnya dukungan pemerintah terhadap industri keuangan syariah, rendahnya kualitas dan kuantitas SDM, serta isu kapasitas di dalam industri keuangan syariah dalam hal variasi produk, persaingan harga, sistem IT, tingkat pelayanan dan distribusi (Bappenas 2015). Menghadapi situasi dan kondisi pasar yang dinamis, industri perbankan syariah di Indonesia harus mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi persaingan regional dan global.

Emprical Issue

Berdasarkan penelitian H.A Khumaidi Ja’far Industri perbankan syariah di Indonesia akan menghadapi tantangan sangat besar terkait dengan cepatnya perubahan serta dinamika pasar regional dan global. Keterbatasan sumber daya dan lemahnya penerapan sistem tata kelola yang baik merupakan kendala utama perbankan syariah untuk meningkatkan daya saing di pasar global. Hal ini sejalan dengan rekomendasi Bappenas (2015) yang menyatakan bahwa selain masalah permodalan, hambatan utama lambatnya perkembangan perbankan syariah adalah kurangnya dukungan pemerintah terhadap industri keuangan syariah, rendahnya kualitas dan kuantitas SDM, serta isu kapasitas di dalam industri keuangan syariah dalam hal variasi produk, persaingan harga, sistem IT, tingkat pelayanan dan distribusi (Bappenas 2015).

Menghadapi situasi dan kondisi pasar yang dinamis, industri perbankan syariah di Indonesia harus mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi persaingan regional dan global. Penerapan sistem tata kelola perusahaan yang baik menjadi sangat penting bagi industri perbankan untuk mengantisipasi semakin kompleksnya permasalahan bisnis di era digital atau yang dikenal dengan financial technology (fintech).

Maka Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.

Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional.

Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.

Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah. Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.[19]

REFERENSI

[1] A Veno and S Syamsudin, ‘Analisis Trend Kinerja Keuangan Perbankan Syariah Tahun 2015 Sampai Dengan 2017’, BISNIS: Jurnal Bisnis Dan ekonomi islam (journal.iainkudus.ac.id, 2016) <http://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/download/1694/1506>.

[2] I P Nuralam, Manajemen keuangan Perbankan Syariah Indonesia (books.google.com,2018)<https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=IxRkDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA2&dq=perbankan+enurut+al+%22qur+an%22+dan+hadist&ots=XjqnZl6RTt&sig=NuYqXkutGj3SicWDA3XHRvmclYQ>.

                               [3] Alan Greenspan menyalahkan sekuritisasi ini, yang mengakibatkan krisis keuangan global bukan karena disebabkan utang semata-mata. Lihat Alan Greenspan (2008), Greenspan Sees Signs of Credit Crising Easing, Stock & Economy-MSNBC. Disamping itu moral hazard juga menjadi sebab terjadinya krisis lihat Holden Lewis (2007), Moral Hazard Help Shape Mortgage Mess, di www.bankrate com.

[4] Heri Sudarsono, Krisis Keuangan Global terhadap Perbankan di Indonesia: Perbandingan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah Volume III, No. 1, Juli 2009 jurnal ekonomi islam https://media.neliti.com/media/publications/23125-ID- Krisis Keuangan Global terhadap Perbankan di Indonesia.pdf hlm 34-36

[5] Miskhin, Frederic (1997), “The Causes and Propagation of Financial Instability: Lessons for Policymakers”, dalam Federal Reserve Bank of Kansas City (1937), Maintaining Financial Stability in a Global Economy, Proceedings of a Symposium Sponsored by the FRB Kansas City, Jackson Hole, Wyoming, August 28-30, pp.55-96.

 

[6] S Chapra, Umer (1985), Towards a Just Monetary System: A Discussion of Money, Banking, and Monetary Policy in the Light of Islamic Teachings, London: Islamic Foundation.

 

[7] Ahyani, H, ‘Dialog Pemikiran Tentang Norma Riba, Bunga Bank, Dan Bagi Hasil Di Era Revolusi Industri 4.0’, EKSISBANK (Ekonomi Syariah 2020 <https://www.journal.sties-purwakarta.ac.id/index.php/EKSISBANK/article/view/140>

[9] Muhammad Eka Rahman, Uji Ketahanan Krisis Terhadap Perbankan Syariah Di Indonesia Dengan Ukuran Ibc (Indeks Banking Crisis) Tahun Periode 2006-2012 Jebis Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2015

[10] Siddiqi, M.N. 2008. The Current Financial Crisis and Islamic Economic. IIUM Journal of Economics and Management 16, no.2: 111-138.

[11] Ahmed, Adel. 2010. Global Financial Crisis: an Islamic Finance Perspective. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Manajemen, Vol. 3 No.4, 2010 pp.306-320

[12]   Novita Anjarsari, perspektif Keuangan Islam Menghadapi Krisis Keuangan Global: Tinjauan Konseptual (INDEKS BANKING CRISIS) TAHUN PERIODE 2006-2012 JEBIS Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2015

[13] Bank Indonesia. 2012. Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta

[14] Bagus Indratno, Peluang dan tantangan Bank Syariah di Indonesia MAJALAH ILMIAH EKONOMIKA VOLUME 13 NOMOR 2, Mei 2010 : 47 – 74  https://media.neliti.com/media/publications/23125-ID-peluang-dan-tantangan-perbankan-syariah-di-indonesia.pdf

[15]  Rachmad Nor Firman Laju Percepatan Perkembangan Perbankan Syariah Melalui Penerapan Tata Kelola Syariah Journal Sharia Economic hlm 88-92 Http://Journal.Iaialhikmahtuban.Ac.Id/Index.Php/JSE/Article/View/75

[16] Arama, Sistem tata kelola syari’ah yang komprehensif Jurnal Bimas Islam, 2015, Vol. 8 No. 1 (2015) hlm 89-90  Jurnal Bimas Islamjurnalbimasislam.kemenag.go.id

[17] S Priyono, Konsep Dan Implementasi Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Pada Perbankan Syariah Di Indonesia Vol 3, No 2 (2019)  hlm 56-59 Http://Jurnal.Staialhidayahbogor.Ac.Id/Index.Php/Ad/Issue/View/54

[18] Dp Awwallin Peluang, Tantangan, Dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (Mea) 2015 Vol 3 No 2 (2015): Akunesa (Januari 2015 hlm 34-36)

[19] Nr Jannah, Peluang Perbankan Syariah Dalam Perekonomian Di Indonesia Vol 1 No 2 (2020): Journal Of Islamic Banking  HLM 99 -100 Http://Journal.Iaialhikmahtuban.Ac.Id/Index.Php/Jib/Article/View/148

RPS MATA KULIAH MANAJEMEN RESIKO

    INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS (ITB) HAJI AGUS SALIM BUKITTINGGI PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN, S1 AKUNTANSI S1 DIGITAL BIS...